Laman


Kamis, 27 Oktober 2011

Bagaimana Tradisi Alam Minangkabau ?



Bahwa yang namanya manusia Minangkabau itu pada zamannya adalah pemeluk agama Islam yang taat, beriman dan berilmu, memiliki pengeta huan lahir dan bathin, awal dan akhir karena sempat ditempa dalam kancah pemikiran falsafah Alam Takambang Jadikan Guru, yang menjadikan anak kemenakan mereka sebagai insan mukmin yang taqwa, yang setelah besar diharapkan muncul sebagai  raja-raja nagari, penguasa, pemimpin, penghulu, pakar, atau orang tua-orang tua yang arif dan bijaksana seperti Sultan, Raja, Ninik Mamak, Penghulu Adat, Alim Ulama, Syaikh, Imam, Khatib,  Cati Bilang Pandai, dan Manti, pendekar-pendekar negeri mereka terdahulu dengan bimbingan para Alim Ilmu, Tuangku-Tuangku Surau, Tuangku Salieh pewaris Nabi Saw. bahkan Sultan-Sultan yang bertaraf Sieh Ole (Syeikh Aulia).
Dengan dasar itu pula nenek moyang pendiri kebudayaan Minangkabau tidak menyebut wilayah mereka secara lahiriah seperti “daerah” atau “negara”, apalagi Republik misalnya, tetapi “Alam Minangkabau”. Kosakata “Alam” mengisyaratkan pengertian yang berlapis-lapis, karena “alam” di ciptakan berlapis-lapis adanya.  Untuk itu seorang anak kemenakan, atau siapa saja yang berminat memerhati  Kebudayaan Minangkabau diharuskan untuk menembus kosmos “Alam (Fikiran) Minangkabau” yang berlapis itu dengan kekuatan akal fikirannya, akal budi Nan Bana terlebih dahulu, bukan “akal-akalan”, atau “akal sembarang akal”.  Kalau tidak, maka ia tidak akan mengerti apa-apa, bahkan bisa menyesatkan!.     
Tidaklah aneh kalau Minangkabau itu mencapai puncak kejayaan dalam kualitas akal budinya, dengan kemampuannya menata kehidupan masyarakat demokrasi dengan tatanan ekonomi, sosial, dan budaya yang apik, pada zamannya, efektif, taktis dan strategis dengan kualifikasi  indak lakang dek paneh indak lapuak dek hujan.  Dan akhirnya “mentradisi” menjadi produk budaya yang kita kenal dengan “tradisi” kehidupan anak kemenakan mereka dari generasi ke generasi. Akankah “tradisi” itu dibiarkan terpinggir begitu saja ?
Walaupun pada zamannya tatanan itu dalam konteks masyarakat agraris, bersifat statis, karena kehidupan yang menetap, namun dengan kearifan tersendiri nilai-nilai kebudayaan tradisi juga akan mampu ditransfor masikan dalam kehidupan budaya masyarakat industri teknologi secanggih apapun, karena kualitasnya sekecil apapun ternyata memiliki nilai-nilai semesta, pemikiran universal, seperti telah diisyaratkan bahwa : “walau sagadang bijo labu, bumi jo langik ado di dalam.”
Begitu pula dalam mengikuti perkembangan dan kemajuan zaman, ternyata nilai-nilai tradisi itu mampu beradaptasi seperti pesan adat menga takan :

“sakali air gadang sakali tapian baralieh,
walau baralieh (esensinya) di sinan juo.”  

Hal ini terbukti dan dapat diterima karena Minangkabau dalam sistem berfikirnya memakai konsep sinergi hubungan ke dalam (ke Luak) dan ke luar (ke rantau) berkiprah di atas landasan tungku tigo sejarangan yang kokoh, dengan perangkat  pancaindra sesuai dengan petunjuk Nabi Saw. Penghulu Sekalian Alam, seperti yang terdapat dalam berbagai Tambo Minangkabau, yakni berkenaan dengan alat Pancaindra yang digunakan, tidak saja panca indra lahir seperti mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit, tetapi juga panca indra batin, yang terdiri dari : raso, pareso, cinto, kiro-kiro, dan pambaun.
Secara ringkas adagium adat Minangkabau mengatakan raso jo pareso. Dzahir hubungan mencari persaudaraan, batin hubungan mencari raso jo pareso. (Hal ini akan dikupas dalam tulisan tersendiri untuk itu). Karena itu pula berbagai karya seni dan sastra tradisinya seperti Tambo Alam, Tambo Adat, Tambo Nagari, Sastra Kaba dan berbagai pemikiran-pemikiran Alam Minangkabau yang tertuang dalam syair, pantun, pepatah petitih adat atau pidato adat, banyak sekali ungkapan-ungkapannya yang tidak dapat dimaknai, ditafsirkan secara lahiriah saja, karena hal tersebut mencakupi wilayah bathin dalam aras kesadaran kolektif ruhani manusia Minangkabau yang menghayatinya, sehingga antara mereka selalu bisa berinteraksi secara baik, dari zaman ke zaman, dari masa ke masa. 
  Jelas saja para ahli yang mengandalkan pemikiran-pemikiran rasional, yang mencoba manganalisa kaba atau ungkapan-ungkapan seni sastra dalam adat Minangkabau secara lahiriah, secara tersurat saja (teks book thingking)  akan terjebak dalam kenaifan penafsirannya. Bahkan bisa menyesatkan.  Karena mereka tidak mewarisi pisau analisa berupa  metoda dan teknik penelitian, serta analisa berfikir dalam corak dan gaya Alam Fikiran Minang kabau untuk membedah karya-karya tradisi, berupa seni dan falsafah hidup (way of life) manusianya  dalam tataran makna tradisi budaya tasurek, tasirek dan tasuruak dalam tutur bahasa dan bahasa tutur Minangkabau.    
Atau memang karena mereka tidak memiliki Cermin Terus, Cermin Hatiuntuk merefleksikan fikiran, tindak laku dan perbuatannya sendiri sehingga mampu membedakan antara yang haq dengan yang batil, baik dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, bahkan dalam menjalani kehidupan itu sendiri.  Sementara Minangkabau telah mengisyaratkan adanya berbagai deskripsi adat tentang berbagai aspek kesadaran kemanusiaannya dalam ungkapan tradisi  :


Tagak diri dek lahie
nan lahie ado ba-batin
nan batin ado kulipiknyo (rahasio)
dalam kulipik bakulipik (barahasio) pulo
     
Maksudnya, dalam alam fikiran Minangkabau seorang itu harus dipahami sebagai seorang pribadi yang memiliki aspek-aspek diri dengan 4 aras kesadaran yang berlapis-lapis,yakni :

-      aras kesadaran lahir (jism-jasmani, fisikal)
-      aras kesadaran batin (nafsiyah, psike)
-      aras kesadaran tersembunyi,  (qalbiyah – budi ) 
-      aras kesadaran rahasia (ruhiyah, ruh kebenaran) 

         Empat aras kesadaran ini, juga tercermin dari 4 jenis batang ilmu pengetahuan yang tersebut dahulu, juga selaras pada tataran makna : “Jalan Nan Ampek”, “Adat Nan Ampek”, “Undang Nan Ampek”, “Kato Nan Ampek”, dan lain-lain azaz seba empat yang menjadi ciri “way of life”, wasilahnya manusia Minangkabau. Kemudian terpatri dengan ikatan yang kuat, “berbuhul mati”  dalam rangkuman “Kalimah Nan Ampek” sebagai seorang hamba mukmin  sejati sesuai dengan keyakinan agama Islam yang dianutnya.
Buhul Mati Kalimah Nan Ampek, diimani, dipelajari, dipahami, dihayati dan diamalkan oleh manusia Minangkabau bahwa tidak ada Tuhan yang lainnya yang pantas untuk disembah, dipuja atau dipuji, kecuali Tuhan yang bersinggasana dan menggetari hati, dengan kuasa dan kekuatan tersembunyi dalam arasy getaran ruhani, terhunjam dalam dzikrullah, dzikir  Kalimah al Haq, Kalimah Tayyibah Laa Ilaaha illa Allah.  Dan Nabi Muhammad Saw. adalah sebaik-baik Wasilah-Nya.  Salawat dan Salam untuk Nabi Muhammad Saw. beserta  ahlinya. 

Secara analogi ada 4 aspek yang tehimpun dalam nilai-nilai tradisi Budaya Alam Minangkabau (BAM) secara utuh.  Keempat aspek itu seperti juga tercermin dalam tradisi Silek Minang yakni aspek kesadaran jasmani (kesadaran lahir, kebugaran jasmani dan olahraga, olah tubuh), aspek kesadaran sanubari (kesadaran batin dan seni pengolahan gerak dan getarnya jiwa), aspek kesadaran nurani, yang  tersembunyi dalam hati nurani (akal-budi) sebagai strategi ketahanan dan kesehatan diri, mental dan spiritual  dan aspek kesadaran ruhihi (ruhiyah) rahasia yang dibimbing dalam nafas ketaqwaan kepada Allah Swt.       
Jadi tidak mungkin menilai Adat, Budaya Alam Minangkabau (BAM) itu hanya dari kulit luarnya saja, pada sebutannya saja, pada pandangan lahiriah yang tampak saja, tetapi nilailah ke dalam hatinya, ke dalam  lubuk akal-budinya, selamilah kedalam syariat dan hakikat agama Islam yang diyakini komunitasnya, keruklah kedalaman esensi, jatidiri dan izzah nafsi manusia Minangkabau itu.  Inilah yang sulit, karena  “dalam laut dapat di duga, dalam hati manusia siapa tahu.” 

Urang Tuo mengingatkan :

Tuanku banyak nan kiramaik,
 pangulu banyak nan batuah,
cati banyak nan pandai,
manti banyak nan piawai,
dubalang banyak nan dareh.

Konon, itu dahulu zaman ninik muyang kito nan turun dari lereng gunuang Marapi, zaman Alam Minangkabu ba-Luhak jo ba-Rantau  zaman nagari barajo-rajo, entahlah sekarang. Walaupun begitu, “abih gali dek galitiek, abih biso dek biaso, abih adaik dek limbago, abih limbago dek buatan, abih buatan dek bakarilaan.” Sehingga dapat dipahami apa yang dituju oleh petuah adat :

Dunia abih kiamaik tibo
labuah luruih jalan basimpang
sasimpang jalan kakida
sasimpang jalan ka suok.
Luruih bana barubah tidak.
Ingek jo Allah pagi jo patang

Kok lai untuang ka mujua   
Iman nan yakin jo agamo
Gantiang putuih biang tabuak
Takadie Allah manantukan

Kok sacakuek pisau di lihie
bia balilik  jalan manggamo
kanalah yatim si anak dagang .
Angok salacuik ka pulang juo ..

Namun, dari sini pulalah awal sebuah perkenalan, awal untuk berkenal an dengan aras kesadaran tradisi yang hidup dalam kosmos Budaya Alam Mi nangkabau, dalam Adat Alam Minangkabau yang sah, untuk dipahami dan dihayati melalui pisau analisa pemikiran kritis, taktis dan strategis dalam ilmu pengetahuan tradisi Alam Minangkabau  secara sempurna karena  :

Tak kenal maka tak tahu
tak tahu maka tak sayang
tak sayang maka tak cinta
tak cinta maka tak mewarisi
tak mewarisi maka tak memiliki
           
Karena itu kenalilah, ketahuilah, sayangilah, cintailah, warisilah dan milikilah pemikiran-pemikiran adat budaya nenek moyang sendiri yang telah menebarkan nilai-nilai kearifan,  nilai-nilai kependekaran, nilai-nilai kepia waian diri, nilai-nilai kebijakan dari mereka yang terbilang pandai dan alim ilmu di negeri ini, bukan hanya dalam wacana, atau kreasi pemikiran tentang benda-benda budaya saja, tapi dalam kesadaran diri sendiri, dalam kesadaran ruh dan jiwa kita, dalam semangat komunitas kebersamaan kita, dalam gerak dan getar nafas ketaqwaan kita kepada Allah Swt.  Seperti telah diisyaratkan nenek moyang pendiri kebudayaan ini dalam sebuah kulindan nya :

Kumalo Sati

“Cimpago mulie taraju ameh
pagi-pagi barono kuniang
tangah hari tapandang hijau
patang-patang rono lembayuang
merahnyo tampak dari jauah
rono mangilau ameh mutu

jikok dilipek saleba kuku
jikok dikambang saleba alam
tapi bakarang kumalo sati

bapiuah bapilin tigo
buatan tukang nan bangsawan
dititiek Tukang Nan Bamiang Tareh Jilatang
Asa nan dari Niniek Moyang, iyolah Adam Nabi Allah,
turun tamurun kapado Sulthan Iskandar Dzulkarnain.
Taffakur alam kasadonyo dilelo Adaik jo Pusako,    
 caro nan dari niniek mamak, Buek dek Alam Minangkabau”, ….

(dimana sekarang ?, dimaa inyo kini ?)

Manusia yang pada kenyataannya memiliki Dua Aras Kesadaran pula, yaitu : Aras Kesadaran Lahir  (yang mengacu kepada pembentukan watak dan kesehatan fisik Jasmani, pelaksanaan syariat dan peningkatan intelek tual) dan Aras Kesadaran Bathin (mengacu pada pembinaan dan pengem bangan aras Kesadaran Ruhani,peningkatan  iman dan taqwa).  
Jadi, apa yang disebut sebagai Aras Kesadaran, adalah sebuah wilayah, pelataran, sebuah medan kesadaran, yang diarifi juga sebagai sebuah Forum Kesadaran Budaya, Kesadaran Adat.  Bukan Adat sembarang Adat, tetapi Adat Alam Minangkabau yang telah diikrarkan bersama, yakni :

Adat Basandi Syarak,
Syarak basandi Kitabullah
Syarak Mangato, Adat Mamakai
Alam takambang jadikan Guru ..

Akar kata kesadaran adalah Sadar. Pengertian Sadar itu tampak seba gai dua belahan, yakni Sadar Lahir dan Sadar Bathin, namun sebenarnya Sadar utuh Lahir Bathin. Seperti kita ucapkan selalu “ Maaf Lahir dan Bathin.”  Maaf” yang diucapkan penuh sadar untuk tidak berbuat kesalah an lagi,  bukan ucapan asal jadi. Sehingga dengan “satu satunya pangana sadar, sesadar-sadarnya” sebagai amanah, maka kerukunan sebuah komuni tas, cermin keutuhan sebuah wilayah dalam negara yang berbangsa dan ber tanah air ini akan dapat tercapai.  Insya-allah – Wabillahittaufiq wal hidayah.


Sekian

Manusia Minangkabau Sekarang



Oleh Emral Djamal Dt. Rajo Mudo

Kebanyakan anak kemenakan pewaris atau pendukung kebudayaan Minangkabau sekarang tidak lagi memiliki daya refleksi untuk cepat tang gap, dan tangguh, tidak lagi memiliki kepekaan reaksi untuk cepat bertindak, mengambil keputusan dan berkiprah tentang berbagai fenomena keminang kabauan yang terjadi.  Mereka lebih suka menunggu dan menonton. Kemudian bertanya sendiri :

Apa itu Minangkabau, 
Mengapa,bagaimana
di mana, dan
bilamana ? 

Manusia Minangkabau yang tidak cepat tanggap, tidak reaktif meng akibatkan hilangnya daya reflektif, hilangnya semangat untuk berlomba-lomba memajukan budaya bangsa lewat nilai-nilai budaya negeri sendiri, lewat nilai-nilai sako korong jo kampuang. 

Menurut budayawan Chairul Harun (alm.) yang semasa hidupnya dikenal sebagai seorang seniman budayawan pemikir dan strateg budaya Minangkabau yang gigih menggali, menghidupkan dan mengembangkan seni tradisi mengatakan :

“Mereka (generasi Minangkabau, pen.) tidak ingin cepat menjadi manusia Indonesia yang berkualitas baru dan energik seperti juga mereka tidak ingin cepat untuk menjadi manusia Universal. Kadang-kadang mereka seperti si buta di malam gelap dan begitu asyik berceritera tentang berbagai warna dunia yang hanya mereka mamah lewat imajinasi buku-buku asing, atau karena cerita-cerita orang tentang mimpi-mimpi  yang diulas dan ditulis secara rapi, setelah ia bangun dari tidurnya. Kebiasaan me  mamah biak pikiran-pikiran orang lain, menjadikan mereka tidak sempat untuk berfikir  melebihi fikiran orang lain itu.” (Harian Singgalang, 1989). 

Selanjutnya dikatakan bahwa hanya segelintir orang yang memiliki kesadaran tentang limbago yang mulai berkecambah. Tetapi karena jumlah nya kecil mereka tidak bisa berbuat banyak. Mereka memang mencoba menyingkirkan berbagai unsur, berbagai kekuatan yang akan menimbun serta mematikan kecambah itu. Tetapi apa daya, tenaga terbatas. Mereka hanya tercenung dan prihatin.

Tampaknya manusia Minangkabau sekarang tidak lagi memahami makna amanah, apalagi untuk melaksanakan amanah berupa pesan-pesan budaya, pesan sejarah, pesan-pesan ilmu pengetahuan taktik dan strategi budaya yang meliputi bidang sosial, ekonomi dan politik. Mereka tidak lagi berfikir bagaimana seharusnya teknik pembinaan generasi muda dan pengeta huan tentang kepemimpinan dengan corak dan gaya pelaksanaan khas Mi nangkabau dapat digali dan dikemas dalam format baru yang lebih sesuai. 

Karenanya mereka belum bisa menjadi manusia utuh, manusia uni versal yang kokoh dan penuh harga diri dalam pergaulan antara bangsa. Akibatnya mereka sering menjadi bulan-bulanan kelompok tertentu, baik dibidang ekonomi, sosial, politik dan budaya, Bahkan sekarang telah mema suki wilayah adat dan agama yang dianut dan diyakininya.  Karena tingkat kemampuan yang bisa dicapai baru sebatas jadi pelayan-pelayan, abdi-abdi kampung dalam (abdi dalam),  dengan pengabdian-pengabdian semu penuh gagasan yang dilengkapi dengan orasi-orasi yang menggebu-gebu namun kemudian setelah gagasan itu menumpuk menggunung, ternyata mereka jadi bingung sendiri. Seakan-akan “gunung gagasan” itu akan menimpa dirinya sendiri. Masih mendingan kalau mereka sadar, tapi celakanya ada yang hilir mudik mengkundang-kundang gagasannya kesana kemari, sambil berteriak inilah kebangkitan, inilah pembangunan,inilah kesejahteraan,  inilah kemakmuran dan lain sebagainya. Lalu diam-diam lobi sini, lobi sana, tak peduli ada orang  “nan ka tasingguang dek kanaiek, talendo dek katurun”.  

Pada hal “Minangkabau” telah ber-amanah, kalau mau berbuat ber buatlah dalam alam, kalau mau mengabdi, mengabdilah dalam alam,  arti nya berbuatlah dan mengabdilah demi kedamaian dan kesejahteraan semesta alam, bersama-sama dan total secara keseluruhannya, bukan setengah-sete ngah demi mempertahankan kepentingan individu, kelompok, atau go longan. Mengabdilah dengan ikhlas, memimpinlah dengan adil, ingatlah  “iduik ka mati”, pasti mendapat kehormatan dari langit.  

Kalau mau meniru, maka tirulah hukum-hukum alam, kalau mau membaca, bacalah alam, hayatilah dan renungkanlah gejala alam yang mem beri kias dan ibarat, yang memberikan kekayaan ruhani dengan berbagai fe nomena yang diisyaratkannya, jangan meniru atau menjiplak barat atau timur, utara atau selatan. Kalau mau berkuasa, kuasailah tabi’at alam, takluk kan dan uruslah alam. Kalau mau jadi pemimpin, jadilah pemimpin dalam alam, maka belajarlah memimpin diri sendiri, memimpin keluarga dan kaum yang lebih besar demi keselamatan dan kesejahteraan dalam alam. Latih dan binalah diri, keluarga dan kaum yang lebih besar berdiri tegak berjalan lurus di alur alam. Dan kalau mau belajar, belajarlah dalam alam,  bersandarlah kepada batang  pohonNya  dalam alam, jangan asik mengumpulkan daun-daun kering, silaro yang jatuh berguguran.

Tetapi hidupkanlah semangat berguru kepada alam, semangat me nuntut ilmu secara benar, dan mintalah  bimbingan  kepada Sang Pencipta Alam. Jadikanlah hukum-hukum alam yang telah ditetapkan Tuhan Yang Maha Menciptakan, sebagai pedoman dan acuan kepustakaan dalam alam. Jangan hanya sekedar semboyan  Alam Takambang Jadikan Guru.         

Ternyata, manusia pewaris kebudayaan Minangkabau yang sekarang dinamakan Budaya Alam  Minangkabau telah ragu untuk mampu lagi tegak berdiri kokoh, untuk menjadi tuan atas wilayahnya sendiri, seperti yang diisyaratkan sejarah negeri sendiri, dengan perjalanan keberadaan :

Datuk Di Ngalau, Sri Maharaja Diraja Suryanarayana Mauli warmadewa, Sri Maharaja Indrawarmandewa, Tuanku Tigalaras Sri Tribuwana Mauliwarmadewa,   Putri Reno Marak, Putri Reno Jani, Putri Kasumbo, Datuk Suri Dirajo, Putri Indo Jalito, Ninik Indojati, Sultan Tajul Alamsyah, Sulthan Muhammadsyah, Datuk Katumanggungan, Datuk Perpatih Nan Sabatang, Datuk Sari Maharajo Nan Banego-nego, Purtri Reno Sudah, Putri Reno Jamilan Yang Dipertuan Maharaja Nan Sakti, Dewang Bonang Sutowano, Sulthan Maharaja Hakikat, Putri Panjang Rambut, Putri Salareh Pinang Masak, Bundo Kanduang, Putri Reno Kumalo, Dang Tuanku, Cindua Mato, Dewang Ranggowano, Malin Dewa, Anggun Nan Tongga, dan tokoh legendaris Putri Reno Selaras Pinang Masak, Pinang Siberibut yang terkenal berjuang mengusir penjajahan Portugis di pantai barat Sumatera Barat.  

Pada generasi-generasi berikutnya kemudian dilanjutkan oleh alim ilmu terkenal seperti  Syaikh Burhanuddin Ulakan, Syaikh Jalaludin, Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Pamansiangan Koto Tuo, Inyiek Parabek, Inyiek Canduang, Siti Manggopoh, Bung Hatta, Bung Syahrir, Agus Salim, Yamin, Hamka, dan banyak-lagi tokoh-tokoh pendekar negeri, para alim ilmu yang tidak tercatat di negeri ini,  juga seperti yang diamanatkan dalam cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, yang dicantumkan  dalam UUD 1945.

Manusia Minangkabau sekarang, menurut Chairul Harun, paling tinggi baru menjadi “manusia Luak, manusia Luak Nan Tuo, manusia Luak Nan Tangah, atau manusia Luak Nan Bungsu.” 

Ironinya lagi, justru saat ini ketika beliau sudah tidak ada lagi, ter bukti kebenaran pendapat Chairul di zaman reformasi ini. Ketika canang untuk kembali ke nagari telah dibunyikan, justru mereka banyak  terperang kap sebagai manusia kabupaten, manusia kota, bahkan “manusia nagari”, menurut versinya masing-masing yang mengacak langan bak langan, meng acak batih bak batih.  Mereka begitu susah untuk menjadi “manusia Indo nesia Baru”, seperti di isyaratkan oleh “Minangkabau” itu sendiri, manusia yang berwawasan nusantara, manusia Universal. Apa kelemahan sekarang ?

Kelemahan utama manusia Minangkabau sekarang menurut Chairul adalah “pemalas”, mereka jadi “pemamah biak”. Mereka kembali “berbu ru”, “bakumain” sebagai  pemburu materi, pemburu proyek, pemburu jabat an, kekuasaan dan pangkat,  pemburu mangsa yang disukai tak obahnya se perti kehidupan di zaman purba tidak lagi bakumain undang jo barih bala beh. Seperti disampaikan Chairul, mereka mengidentikkan diri  pada legenda yang berkembang jadi mitos yaitu “Minangkabau” itu adalah “Kerbau”.

Barangkali karena kemalasan itulah mereka tidak mampu menjadi manusia yang berfikir konfrehensif, berfikir total secara menyeluruh,  tidak mampu :

mangaruak sahabih gauang,
mahawai sahabih raso,
karano cinto mamang
pariso ragu.

Tidak mampu mambalun sabalun kuku mangambang saleba alam. Tidak mampu merumuskannya dalam butir-butir yang dapat dipertanggung jawabkan secara bersama. Walau telah dikerahkan upaya sarana, prasarana dan dana untuk itu.

Acak-acak nagari alah,
Sio-sio utang tumbuah
kok bakareh,
arang abih basi binaso.

Karena mereka sudah sibuk mangureh tanago / menguras energi untuk bisa membaca yang tersurat, tak ada lagi daya dan upaya untuk me nguak tabir yang tersirat, apalagi untuk hal-hal yang tersuruk. Kelambanan dan kedangkalan berfikir itulah yang menyebabkan mereka jadi puas hanya sebagai pelayan, tukang-tukang ambil muka, sebagai budak-budak kebuda yaan ampas, sekedar untuk memenuhi selera rendah dunianya saja.
Akibatnya mereka mudah dibeli, bahkan terlalu murah untuk dibeli. Sehingga cukup sulit untuk menggugah mereka untuk melaksanakan prog ram perencanaan, pembangkitan, dan pembangunan sosial budayanya sesuai dengan pesan adat dengan isyaratnya yang tertuang dalam ungkapan : 

1. Mambangkik batang tarandam,batagak tonggak tuo.
2. Manapiek mato padang, paapuih coreang di muko
3.  Manantang matoari, paapuih malu di kaniang
4. Manjapuik piutang lamo, panantang dunia urang

Atau terasa amat sulit untuk mengajak mereka untuk baguru kepada Alam. Juga sulit untuk mengingatkan mereka belajar dari alam dan peng-Alam-an. Pada hal Sang Khaliqul Alam telah memberikan berbagai mata pelajaran untuk peng-alam-an, bahkan peringatan telah disampaikan lewat alam ciptaanNya,  yakni peringatan-peringatan lewat laut yang menggulung kehidupan, lewat air yang menggenangi kota, lewat api yang membakar ne geri, lewat angin yang memutar balikkan cuaca nusantara dan lewat tanah yang merengkah patah bumi persada ini.  

Mereka yang sempat bersekolah tinggi, menurut Chairul malahan jadi didik, jadi linglung, hilang akal, malahan mungkin sibuk mempertu karkan fikiran dengan sederetan buku-buku tebal karangan luar negeri, sehingga akibat dari fikiran yang bertukar-tukar itu justru tampak sebagai laku perangai,  fi’il dan kurenah ketidak stabilan, ketidak warasan  karena  batuka aka,  bertukarnya  standar nilai.

Ternyata Bang Chairul benar, Minangkabau itu sekarang memang “meminang” kabau.

Sukek dianjak urang panggaleh,
pasupadan dialieh urang lalu.






Sekian