Laman


Kamis, 10 November 2011


ADAT DAN SYARAK
PEMBICARAAN SEPANJANG ZAMAN

Dalam nilai-nilai Budaya Minangkabau,
Adat merupakan sinar-sinar cahaya,
menerangi jalan kehidupan yang baik di dunia

Bismillahirrahmanirrahim.
Orang Minangkabau, secara keseluruhan penganut agama Islam yang ta’at. Setiap kelompok keluarga, kaum, atau pesukuan dipimpin sebuah lembaga tradisi. Lembaga itu terdiri dari datuk-datuk penghulu, khatib, malin atau imam adat, manti dan dubalang adat sebagai pengendali anak kemenakan warga kaumnya masing-masing. Diakui sah secara adat dalam nagari-nagari se-alam Minangkabau, khususnya di Sumatera Barat.
Dengan sendirinya, adat istiadat, adat yang teradat, adat yang diadatkan disetiap nagari dalam lingkungan alam Minangkabau berpedoman kepada adat yang sebenar adat. Adat yang sebenar adat ini, adalah nilai-nilai akhlakul karimah warisan (yang diteladani) dari Rasulullah SAW. Warisan yang diteladani itu berupa contoh tindak prilaku yang ditunjukkan, pesan-pesan, dan petunjuk-petunjuk (dalam bentuk sabda) beliau, semuanya itu terhimpun dalam Sunnah Rasulullah SAW. Hal itu dipertegas dari berbagai bahan bacaan dan keterangan yang bersumber dari sastra tutur, termasuk berbagai Tambo Alam Minangkabau.
Pada sebuah teks pidato adat disebut :

Mako bapikie-pikielah aka sakatiko, haniang-haniang raso dalam pareso, kamala kukan hukum kitab Tambo, kapado anak kamanakan nan sapayuang sapanjinyo, lalu ka wilayah nagari, dipatuik adaik nan duo parakaro.Partamo: Adaik jahiliah, suko basorak jo basorai, tagak mahampang simpang jalan, diam di kayu nan barambai, habih hari malam tak sadang, mabuk barambuang pagi patang, hiduik sagan mati tak amuah, arang kareh kato tak lalu, hukum baralo dirajonyo. Kaduo: Adaik Islamiah, manghukum adie lagi bijaksano, hukum dicaro kitab Allah, nan tinggi tam pak jauh nan dakek jolong tasongoh, tingginyo tak bulieh dijuluak, gadangnyo tak bulieh dililik, dalam tak bulieh diajuak. Itulah pamimpin kito panghulu kito, datuak-datuak, tuangku tuangku nan duo tigo paseloan, imam, khatib, manti, jo dubalang, Ampanglimo parang. Suluh bendang dalam nagari titiek palito dalam alam, nan mamacik tali taraju, bungka nan piawai.

Adat Islamiah inilah yang berlaku di Minangkabau. Hal yang tidak sesuai dengan perumusan fatwa orang Alim, ahli Adat, dan hadist, dalil, kias, serta ijmak warisan para ulama terdahulu sebagai hasil kesepakatan bersama, berarti itu adalah adat Jahiliyah. Bila ditemui dalam “laku kehidupan” saat ini – baik di kalangan bawah maupun dikalangan atas dengan segala kepakarannya-berarti hanya penyimpangan karena bebal dan jahil. Sebagai akibat tidak dipahaminya lagi nilai-nilai adat yang luhur, mulia, dan terpuji itu. Dalam bahasa Adat disebut pengaluh maksudnya hanya mengikut kata orang saja. Dengan kata lain disebut teks book thingking. Seharusnya, adat itu melekat dan menyatu dengan “laku diri manusia”, yang beradat dengan adat itu. Mana adat yang terpakai ?, tentu saja yang mengajak kepada sesuatu kebaikan, yang makruf, bukan yang mungkar.
Adat Minangkabau merupakan hasil kemufakatan para ahlinya, untuk diterapkan dalam perilaku kehi dupan. Baik diri sendiri maupun dalam kebersamaan, hidup berdampingan secara aman, tentram, damai dan sejahtera. Semua itu diatur dalam ketetapan hukum adatnya. S.Datuk Batuh dalam Tambo Alam Minang kabau menjelaskan, “keterpautan adat itu adalah dengan segala mufakat ulama-ulama yang terdahulu, senan tiasa berbetulan, dan sesuai dengan segala kitab Allah Ta’ala”.
Dalam nilai-nilai budaya Minangkabau, adat merupakan sinar-sinar cahaya yang menerangi jalan kehidupan yang baik di dunia ini. Dan akan membawa manusia pendukung budaya Minangkabau itu ketatanan kehidupan yang sejahtera bumi sanang padi manjadi, anak kamanakan bakambang.Pada sebuah sastra pidato adat, nilai-nilai keindahannya dilukiskan sebagai berikut:

Cimpago mulie taraju ameh, pagi-pagi barono kuniang, tangah hari tapandang hijau, patang-patang rono lembayuang, merahnyo tampak dari jauh, rono mengilau ameh mutu, jikok dilipek saleba kuku, jikok dikambang saleba alam, tapi bakarang “kumalo sati”, bapiuah bapilin tigo, buatan tukang Nan Bangsawan, dititiek tukang Nan Bamiang Tareh Jilantang, asa nan dari niniek moyang, iyolah Adam Nabi Allah, turun tamurun kapado Sulthan Iskandar Dzulkarnain. Tafakkur alam kasadonyo, dilelo adaik jo pusako, caro nan dari Niniek Mamak, buek dek Alam Minangkabau.

Secara visual, kiasan-kiasan sastra Minangkabau yang indah itu, menjadi simbol baju kebesaran Niniek Mamak, menyimpan gagasan kreatif, tersurat, tersirat, dan tersuruk. Sebagai baju pusako, tando beti pangkek-pangkek Pengulu dalam kaumnyo”. Seperti dikiaskan :

Mako dilakekkanlah pangkek pangulu itu, manuruik undang di Nan Tuo, jikok mati batingkek budi, jikok hiduik bakarilaan, jikok gadang balega jikok pusako basalin. Basalin baju pusako, turak turang baludu gandum, baju gadang niniek mamak, saluak daster pilin tigo, pinggang mamakai pending ameh, tasisik karih Cumati Intan, saruang bapaluik jo perak, hulu bakarang ameh mutu, harago satimbang jo nagari…..

Syarak adalah aturan dan hukum-hukum syari’at agama Islam yang dituang, disari, dan disampaikan berdasarkan hadist, dalil, kias, dan ijmak para alim-ulama, sesuai dengan “lafaz, makna, fasal, dan babnya”, serta keterangan-keterangan yang disampaikan dan diterima dari Sunnah Rasulullah SAW. Dan telah disepakati secara bersama untuk dijadikan pedoman dasar dalam menyusun aturan-aturan Hukum Adat, sebagai suri tauladan, dalam menata hidup dan kehidupan anak kamanakan ( rakyat ) secara bersama. Kemudian rincian-rincian adat tersebut “dikiaskan”ungkapannya dalam bahasa Minang:

“Cupak gantang, tuangan limbago, jangko balabeh nan basosok bajarami, nan bapandam bapanguburan, nan batiru batauladan, bajanjang naiek, batanggo turun. “

Pengetahuan Adat dan Syarak tersebut, hanya dapat dipahami dengan mempelajari secara sungguh-sungguh kepada ahlinya, dan masih menguasai pengetahuan itu secara baik. Dengan demikian generasi sekarang tidak bingung memahami, menjelaskan, atau menalarkan pengetahuan tradisional adat Minang kabau yang menjadi corak khas budayanya. Apabila tidak demikian, akan berakibat pengetahuan adat dan syarak, tidak lagi dimengerti. Penafsiran tentang Minangkabau akan jadi rancu, bahkan bisa me nyesatkan. Akibatnya pandangan tentang Minangkabau oleh keturunan Minang sendiri, akan menjadi “sinis”, apalagi pandangan orang luar. Hal demikian, jelas berawal dari ketidakpahaman mereka tentang budaya Minang kabau tersebut. Padahal, nilai-nilai adat dn syarak tersebut sangat diperlukan bagi pembinaan sikap, tindak, laku, dan perbuatan. Agar identitas diri anak kemanakan di negeri “adaik basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” ini tidak tersesat oleh budaya luar yang mengabaikan unsur ukhrawi. Apalagi saat ini, ketika zaman kehidupan yang sedang mengalami “trend global”, dan dapat membuat manusia berjalan dalam “pusaran tatawarna” kehidupan yang membingungkan.
Kalau boleh dikatakan, Minangkabau mewariskan konsep pembinaan jati diri yang tangguh, dan konsep pembangkitan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang terpuji secara utuh dan sempurna. Bagi penyiapan generasi intelektual dimasa depan. Dalam bahasa budaya Minangkabau disebut ahli akal, ahli Adat ( hukum kemanusiaan ), dan ahli Isyqi. Yakni ahli perenungan yang memiliki semangat spiritual Islam. Seperti diketahui, karena karya sastra ulama, datuk-datuk para penghulu itu pada zamannya memancarkan kesahduan sufisti. Bahkan menurut Yulizal Yunus ( 1993:2 ), mencerminkan Higher sufistik dalam membangun istana cinta dihatinya untuk mencapai Tuhan dengan penghayatan estetik. Edwar Djamaris menjelaskan, hal itu terbukti dari karya tambo Minangkabau dan karya-karya para Ulama di masa lalu seperti syair, pantun, mantra sufistik dan lainnya.         

Alam fikiran Minangkabau, yang diwarisi dari Adat Minangkabau dapat dipahami sebagai hasil karya kreatif tokoh-tokoh ahli adat sekaligus juga adalah orang-orang alim yang ahli metafisik Islam. Terbukti memang pada zamannya Minangkabau dengan daerah inti Sumatera Barat terkenal sebagai gudangnya ulama dan pemikir-pemikir bangsa yang tangguh. Ini tak lain karena mereka ditempa dalam kancah dinamika semangat profetik, yakni kombinasi dimensi sosial yang profan dan dimensi trasendental yang menjadi akar budaya Minangkabau. ( Yulizal Yunus, 1993 ). Kalau demikian, dari manakah sumber Adat itu ?. Apakah yang dijadikan cikal bakal lembaga adat itu? Betulkah adat itu pantas dan patut dipelajari, sehingga dapat mewariskannya kepada generasi muda berikutnya ?.
Bagi orang Minangkabau yang mendasari adatnya dengan Adat Islamiah adalah merupakan dasar utama bagi mereka yang tidak dapat tidak, harus dan wajib menuntut dua perkara ilmu, yaitu ilmu Adat dan Syarak. Tuntutan atas dua perkara ilmu yang berbeda namun satu dalam wadahnya. Antara adat yang mengatur tatanan kehidupan manusia di dunia dan syarak yang menuntun manusia menuju akhir kehi dupan di akhirat kelak, terjalin dalam hubungan yang harmonis tagang nan bajelo-jelo, kandua nan badantiang-dantiang. Tali hubungan tersebut merupakan wasilah, jalan, atau metoda bagi penuntut dua perkara ilmu tersebut diatas. Istilah tersebut kemudian lebih dikenal sebagai Silat Minangkabau. Silat dalam konteks pemahaman orang-orang Minangkabau dahulu, seperti Silat Kata, Silat Lidah, Silat Akal, (mengacu kepada sistem pembelajaran ini) dan dalam ungkapan tradisi Minangkabau, pekerjaan itu disebut sebagai basilek di pangka karih, maniti mato padang. Bukan belajar atau berlatih pencak silat ! Karena patah lidah tampek kalah patah karih tampek mati. 
Keris ( karih ) merupakan kelengkapan pakaian penghulu sebagai simbol tuah kebesaran Adat Minang kabau, sedangkan pedang adalah lambang senjata perjuangan dalam menegakkan agama, lambang jihad fisabilillah untuk diri sendiri, kaumnya dan bangsanya. Meniti mata pedang berarti meniti jalan yang lurus dan benar. Jalan itu tajam seperti mata pedang, seperti yang selalu kita minta dalam do’a : Ihdinas-sirathal mustaqim. Namun manusia memiliki metoda sendiri, seperti orang Minangkabau berjalan pada alurnya yang patut, yang makruf dengan perspektif : iduik baraka, mati ba-iman, ba-adaik sapanjang jalan ( hidup berakal, mati beriman, beradat sepanjang jalan kehidupan ).
Dengungan yang selalu bergetar mengungkapkan bahwa bangsa yang besar selalu menghargai sejarah dan kebudayaannya ( adat ). Karena bangsa yang tidak mengahargai dan budayanya akan hilang kepriba diannya. Lalu hanyut diombang-ambingkan arus globalisasi. Karena itu menjadi amat penting pula untuk membangkitkan kesadaran adat Minangkabau seirama dengan kesadaran bernagari secara lebih transparan, dalam upaya mengantisipasi kerisauan-kerisauan di tengah-tengah perpacuan transformasi budaya abad ini. Sri Sultan Hamengku Buwono X, dalam makalahnya mengutip Levi Strauss : “ Kita harus belajar, bagaimana agar sumber dinamika perubahan, kreatifitas, pemer dekaan dan pembangkitan inovasi bisa menjadi penuntun dan tidak malah bertab rakan dengan kebudayaan, tetapi diharapkan mampu menciptakan koekstensi dan harmoni antar budaya”. ( Buwono X, 1997 : 2 ).
Dari perjalanan Islam di Minangkabau, penelusuran tentang apa yang disebut seba gai nan bajanjang naiek, batanggo turun menggambarkan pandangan Integralisme. Yakni filsafat yang mencoba merumuskan fikiran-fikiran kontemporer bagi essensi filsafat tradisional Islam yang dibuat untuk membangun peradaban Islam sebagai satu-satunya peradaban dunia. Integralisme, dianggap sebagai super ideologi yang dipersem bahkan penulisnya bagi generasi muda Islam, untuk dikembangkan sebagai landasan bagi penyusunan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang khas Islam dimasa depan. Seperti halnya Hikmah Islamiyah, yaitu filsafat tradisional Islam yang merupakan landasan bagi peradaban Islam di masa lalu. ( Mahzar, 1982 ).
Namun Minangkabau, telah menghasilkan buatan (karya) dalam bentuk kesepakatan yang dituang dalam lembaganya, bahwa konsep Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah merupakan esensi rumusan-rumusan yang diambil dari berbagai hukum yang yang sesuai dengan hukum-hukum yang berkem bang di dunia pada zamannya, dengan memakai teori dan gagasan Sufistik. Dan gagasan dimaksud dapat dilihat pada awal pembukaan naskah Tambo Minangkabau. ( TM. Datuk Tuah, TM Edwar Djamaris ) dengan simbol Adam Sufi Allah atau Nur Huruf Alif. Dengan semangat profetik para ulama dan ahli Adat, serta ahli-ahli akal, Minangkabau akhirnya menemukan corak, langgam, dan irama khas dalam penyusunan pranata sosial yang sesuai dan diterima sebagai satu-satunya konsep yang menjadi landasan kehidupan bersama, dalam naungan panji-panji Islam, sebagai super ideologi ( meminjam istilah Alfen Toffler ) terapan dalam kehidupan nyata, dan tidak hanya sekedar teori. Tetapi nilai-nilainya melekat erat pada diri manusia Minangkabau, serta merupakan sebuah kenyataan dalam aplikasi kehidupan masyarakat pendu kungnya. Setidak-tidaknya Minangkabau pada Millenium kedua telah menghasilkan produk budaya yang dipakai dan terpakai dalam bentuk protipe tata-bangun masyarakat yang ideal, dalam naungan panji-panji peradaban Islam, yang sangat mencengangkan dunia.
Adat dan Syarak, akhirnya kokoh menjadi sikap dan pandangan hidup masyarakat Minangkabau di alamnya. Akankah aturan-aturan dan hukum Adat yang telah teraplikasi dalam kehidupan masyarakat Minangkabau se-alamnya, menjadi tunggul penebangan ? sementara gantinya tidak ada. Padahal orang Minangkabau telah berpesan :

Warih bajawek, pusako batolong,
Adat dipakai baru, kain dipakai usang.

Pertumbuhan mental spritual seseorang hanya akan hidup dan tumbuh subur bila berada dalam naungan cahaya”matahari Islam”. Hanya matahari Islam yang memiliki daya tangkal terhadap serangan ke bathilan. Baik yang datang dari dalam diri maupun dari luar. Hal itu disebabkan adanya kekuatan penolong dari hidayah Tuhan Rabbul Alamin atas diri orang-orang yang berada dalam sinaran matahari Islam. Tentunya dengan segala kerelaannya melaksanakan perintah-perintah dan mematuhi setiap larangan, sebagai mana yang telah ditetapkan Tuhan, Allah Swt.. Sehingganya Tuhan Yang Maha Kuasa meridhoinya dengan cahaya suci yang turun dari alam ketuhanan yang maha tinggi.
Karena itu, dapat dipahami bahwa pertumbuhan mental spiritual seseorang amat tergantung atas ca haya imannya. Hal itu ditentukan oleh kesadaran seseorang yang mengakui dengan tulus dan ikhlas awal akhir lahir dan batin bahwa dirinya adalah insan. Manusia yang diciptakan Tuhan Yang Maha Menciptakan, dan ditumbuh suburkan lewat proses hukum-hukum alam yang diciptakan pula untuk mengatur kehidupan itu oleh sang Khaliq’ul Alam. Al-Qur’an menyebutnya sebagai Sunnatullah. Oleh karenanya, seseorang ti dak dapat melepaskan diri dari kenyataan hukum-hukum alam yang telah diciptakan Tuhan Rabbul ‘Alamin.
Hukum-hukum alam itu juga menyangkut hukum-hukum penciptaan dan proses-proses kejadian manusia dan alam kehidupannya, dari semula jadi sampai kesudahan tujuan kejadian penciptaan manusia itu sendiri. “Itulah Sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan peru bahan bagi Sunnatullah itu.” (SQ.Al-Fath:23).
Orang-orang Minangkabau sejak dahulu, bahkan sampai sekarang masih menyatakan dirinya sebagai orang-orang yang belajar dari “Alam”. Mereka menjadikan “Alam” sebagai “Guru”, untuk dipedomani. Oleh karena itu, hukum-hukum alam yang telah diciptakan Tuhan seru sekalian Alam, perlu dipahami, dihayati, dituruti dan diamalkan, lalu dipedomani dengan seksama bagi pengenalan, pembangkitan, penempaan, pembinaan, dan pertumbuhan jasad jasmani, fisikal, mental, dan spiritual. Sampai kepada perwujudan sikap, tindak, laku, dan perbuatan manusia, menuju tujuan akhir penciptaan. Untuk itu tentu ada kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakannya dengan segala aturan hubungan-hubungan vertikal dan horizontal yang seimbang. Aturan hubungan-hubungan antara manusia, hubungan manusia dengan makhluk ciptaan tuhan lainnya.  
Hubungan manusia dengan alam lingkungannya, serta hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Menciptakan dirinya sendiri, telah diperkenalkan kepada kita lewat hukum-hukum Ilahi yang disampaikan dalam kitab-kitab suci, dan contoh-contoh kehidupan para Nabi dan RasulNya (a.s), serta cara-cara kehidupan dan kepemimpinan orang-orang saleh yang telah mewarisi nilai-nilai hukum-hukum kehidupan ini bagi penataan hubungan kehidupan manusia yang seimbang dan harmonis. Dan semuanya itu, telah sempurna adanya dalam Al-Qur’an yang menjadi kitab suci umat Islam. Diperkuat pula dengan contoh-contoh suri keteladanan yang diberikan oleh Nabi Muhammad Saw. Sebagai penghulu sekalian Nabi dan Rasul as.
Al-Qur’an dengan jelas mengandung semua ajakan, tawaran, suruhan, dan anjuran untuk mengikuti aturan-aturan yang telah diciptakan Allah Swt. Untuk secara ikhlas bersedia dan rela menuruti perintah-perintahNya. Dan mematuhi larangan-larangan-Nya, demi kepentingan keselamatan dan kesejahteraan umat manusia itu sendiri dalam pengabdiannya sebagai hamba Allah, di dunia dan akhirat. Untuk tidak kaku dan sempit pemahamannya terhadap apa-apa yang difirmankan Allah Swt. Dalam Al-Qur’an tersebut, maka manusiapun disuruh untuk mempergunakan “kekuatan akal’nya seoptimal mungkin dalam usahanya meng hayati, mendalami, dan memahami hukum-hukum alam ini. Dan membaca ayat-ayat Allah Swt. Baik yang telah difirmankanNya secara tersurat, tersirat, maupun tersuruk serta diwajibkan untuk mengimani dan meyakininya secara benar.
Disamping itu, bahkan Allah Swt, menganjurkan hamba-hambaNya yang saleh lagi memiliki “kekuatan akal” yang dihidayahkan Tuhan kepadanya, untuk berusaha menyelami rahasia-rahasia gagasan Tuhan yang tersuruk, tersembunyi di alam raya mau pun di dalam diri-diri manusia itu sendiri. Kemudian secara tepat guna memberikan nuansa baru dalam “kias” dan “ibarat” sebagai contoh-contoh perumpamaan yang tepat bagi sosialisasi nilai-nilai kehidupan terpuji dan mulia, sebagai upaya mewujudkan “visi” masa depan yang benar. Dan itu semua, hanya dapat dilakukan dengan kesadaran dan kemampuan untuk “merefleksikan diri” secara benar pula dalam naungan kosmis cahaya keimanan yang Haq.
Prasyarat untuk dapat melakukan refleksi diri dengan benar, perlu adanya “cermin diri” yang bersih dan jernih. Dengan Cermin diri yang jernih dan bersih itu diharapkan mampu menangkap hidayah sinar pantulan atas tanggapan yang benar mengenai hukum-hukum Ilahi. Bagi kehidupan bersama, maupun untuk diri sendiri. Wallahu Alam.