ADAT DAN SYARAK
PEMBICARAAN SEPANJANG ZAMAN
Dalam nilai-nilai Budaya Minangkabau,
Adat merupakan sinar-sinar cahaya,
menerangi jalan kehidupan yang baik di
dunia
Bismillahirrahmanirrahim.
Orang Minangkabau, secara keseluruhan penganut agama Islam yang ta’at.
Setiap kelompok keluarga, kaum, atau pesukuan dipimpin sebuah lembaga tradisi. Lembaga
itu terdiri dari datuk-datuk penghulu, khatib, malin atau imam adat, manti dan
dubalang adat sebagai pengendali anak kemenakan warga kaumnya masing-masing.
Diakui sah secara adat dalam nagari-nagari se-alam Minangkabau, khususnya di
Sumatera Barat.
Dengan sendirinya, adat istiadat,
adat yang teradat, adat yang diadatkan disetiap nagari dalam lingkungan
alam Minangkabau berpedoman kepada adat
yang sebenar adat. Adat yang sebenar adat ini, adalah nilai-nilai akhlakul
karimah warisan (yang diteladani) dari Rasulullah SAW. Warisan yang diteladani itu
berupa contoh tindak prilaku yang ditunjukkan, pesan-pesan, dan
petunjuk-petunjuk (dalam bentuk sabda) beliau, semuanya itu terhimpun dalam
Sunnah Rasulullah SAW. Hal itu dipertegas dari berbagai bahan bacaan dan
keterangan yang bersumber dari sastra tutur, termasuk berbagai Tambo Alam
Minangkabau.
Pada sebuah teks pidato adat disebut :
Mako bapikie-pikielah aka sakatiko, haniang-haniang raso dalam pareso,
kamala kukan hukum kitab Tambo, kapado anak kamanakan nan sapayuang sapanjinyo,
lalu ka wilayah nagari, dipatuik adaik nan duo parakaro.Partamo: Adaik
jahiliah, suko basorak jo basorai, tagak mahampang simpang jalan, diam di kayu
nan barambai, habih hari malam tak sadang, mabuk barambuang pagi patang, hiduik
sagan mati tak amuah, arang kareh kato tak lalu, hukum baralo dirajonyo. Kaduo:
Adaik Islamiah, manghukum adie lagi bijaksano, hukum dicaro kitab Allah, nan
tinggi tam pak jauh nan dakek jolong tasongoh, tingginyo tak bulieh dijuluak,
gadangnyo tak bulieh dililik, dalam tak bulieh diajuak. Itulah pamimpin kito
panghulu kito, datuak-datuak, tuangku tuangku nan duo tigo paseloan, imam, khatib,
manti, jo dubalang, Ampanglimo parang. Suluh bendang dalam nagari titiek palito
dalam alam, nan mamacik tali taraju, bungka nan piawai.
Adat Islamiah inilah yang berlaku di Minangkabau. Hal yang tidak sesuai
dengan perumusan fatwa orang Alim, ahli Adat, dan hadist, dalil, kias, serta
ijmak warisan para ulama terdahulu sebagai hasil kesepakatan bersama, berarti
itu adalah adat Jahiliyah. Bila ditemui dalam “laku kehidupan” saat ini – baik
di kalangan bawah maupun dikalangan atas dengan segala kepakarannya-berarti
hanya penyimpangan karena bebal dan jahil. Sebagai akibat tidak dipahaminya
lagi nilai-nilai adat yang luhur, mulia, dan terpuji itu. Dalam bahasa Adat
disebut pengaluh maksudnya hanya
mengikut kata orang saja. Dengan kata lain disebut teks book thingking. Seharusnya, adat itu melekat dan menyatu
dengan “laku diri manusia”, yang beradat dengan adat itu. Mana adat yang
terpakai ?, tentu saja yang mengajak kepada sesuatu kebaikan, yang makruf,
bukan yang mungkar.
Adat Minangkabau merupakan hasil kemufakatan para ahlinya, untuk
diterapkan dalam perilaku kehi dupan. Baik diri sendiri maupun dalam
kebersamaan, hidup berdampingan secara aman, tentram, damai dan sejahtera. Semua
itu diatur dalam ketetapan hukum adatnya. S.Datuk Batuh dalam Tambo Alam
Minang kabau menjelaskan, “keterpautan adat itu adalah dengan segala mufakat
ulama-ulama yang terdahulu, senan tiasa berbetulan, dan sesuai dengan segala
kitab Allah Ta’ala”.
Dalam nilai-nilai budaya Minangkabau, adat merupakan sinar-sinar cahaya
yang menerangi jalan kehidupan yang baik di dunia ini. Dan akan membawa manusia
pendukung budaya Minangkabau itu ketatanan kehidupan yang sejahtera bumi sanang padi manjadi, anak kamanakan
bakambang.Pada sebuah sastra pidato adat, nilai-nilai keindahannya
dilukiskan sebagai berikut:
Cimpago mulie taraju ameh, pagi-pagi barono kuniang, tangah hari
tapandang hijau, patang-patang rono lembayuang, merahnyo tampak dari jauh, rono
mengilau ameh mutu, jikok dilipek saleba kuku, jikok dikambang saleba alam,
tapi bakarang “kumalo sati”, bapiuah bapilin tigo, buatan tukang Nan Bangsawan,
dititiek tukang Nan Bamiang Tareh Jilantang, asa nan dari niniek moyang, iyolah
Adam Nabi Allah, turun tamurun kapado Sulthan Iskandar Dzulkarnain. Tafakkur
alam kasadonyo, dilelo adaik jo pusako, caro nan dari Niniek Mamak, buek dek
Alam Minangkabau.
Secara visual, kiasan-kiasan sastra Minangkabau yang indah itu, menjadi
simbol baju kebesaran Niniek Mamak, menyimpan gagasan kreatif, tersurat, tersirat, dan tersuruk.
Sebagai baju pusako, tando beti pangkek-pangkek
Pengulu dalam kaumnyo”. Seperti dikiaskan :
“Mako dilakekkanlah pangkek pangulu itu,
manuruik undang di Nan Tuo, jikok mati
batingkek budi, jikok hiduik bakarilaan, jikok gadang balega jikok pusako
basalin. Basalin baju pusako, turak turang baludu gandum, baju gadang niniek
mamak, saluak daster pilin tigo, pinggang mamakai pending ameh, tasisik karih
Cumati Intan, saruang bapaluik jo perak, hulu bakarang ameh mutu, harago
satimbang jo nagari…..
Syarak adalah aturan dan hukum-hukum syari’at agama Islam yang dituang,
disari, dan disampaikan berdasarkan hadist, dalil, kias, dan ijmak para
alim-ulama, sesuai dengan “lafaz, makna, fasal, dan babnya”, serta
keterangan-keterangan yang disampaikan dan diterima dari Sunnah Rasulullah SAW.
Dan telah disepakati secara bersama untuk dijadikan pedoman dasar dalam
menyusun aturan-aturan Hukum Adat, sebagai suri tauladan, dalam menata hidup
dan kehidupan anak kamanakan ( rakyat ) secara bersama. Kemudian
rincian-rincian adat tersebut “dikiaskan”ungkapannya dalam bahasa Minang:
“Cupak gantang, tuangan limbago, jangko balabeh nan basosok bajarami,
nan bapandam bapanguburan, nan batiru batauladan, bajanjang naiek, batanggo
turun. “
Pengetahuan Adat dan Syarak tersebut, hanya dapat dipahami dengan
mempelajari secara sungguh-sungguh kepada ahlinya, dan masih menguasai
pengetahuan itu secara baik. Dengan demikian generasi sekarang tidak bingung
memahami, menjelaskan, atau menalarkan pengetahuan tradisional adat Minang kabau
yang menjadi corak khas budayanya. Apabila tidak demikian, akan berakibat
pengetahuan adat dan syarak, tidak lagi dimengerti. Penafsiran tentang
Minangkabau akan jadi rancu, bahkan bisa me nyesatkan. Akibatnya pandangan
tentang Minangkabau oleh keturunan Minang sendiri, akan menjadi “sinis”, apalagi
pandangan orang luar. Hal demikian, jelas berawal dari ketidakpahaman mereka
tentang budaya Minang kabau tersebut. Padahal, nilai-nilai adat dn syarak
tersebut sangat diperlukan bagi pembinaan sikap, tindak, laku, dan perbuatan.
Agar identitas diri anak kemanakan di negeri “adaik basandi syarak, syarak
basandi Kitabullah” ini tidak tersesat oleh budaya luar yang mengabaikan unsur
ukhrawi. Apalagi saat ini, ketika zaman kehidupan yang sedang mengalami “trend
global”, dan dapat membuat manusia berjalan dalam “pusaran tatawarna” kehidupan
yang membingungkan.
Kalau boleh dikatakan, Minangkabau mewariskan konsep pembinaan jati diri
yang tangguh, dan konsep pembangkitan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang
terpuji secara utuh dan sempurna. Bagi penyiapan generasi intelektual dimasa
depan. Dalam bahasa budaya Minangkabau disebut ahli akal, ahli Adat ( hukum
kemanusiaan ), dan ahli Isyqi. Yakni
ahli perenungan yang memiliki semangat spiritual Islam. Seperti diketahui,
karena karya sastra ulama, datuk-datuk para penghulu itu pada zamannya
memancarkan kesahduan sufisti. Bahkan menurut Yulizal Yunus ( 1993:2 ),
mencerminkan Higher sufistik dalam
membangun istana cinta dihatinya untuk mencapai Tuhan dengan penghayatan
estetik. Edwar Djamaris menjelaskan, hal itu terbukti dari karya tambo
Minangkabau dan karya-karya para Ulama di masa lalu seperti syair, pantun,
mantra sufistik dan lainnya.
Alam fikiran Minangkabau, yang diwarisi
dari Adat Minangkabau dapat dipahami sebagai hasil karya kreatif tokoh-tokoh
ahli adat sekaligus juga adalah orang-orang alim yang ahli metafisik Islam.
Terbukti memang pada zamannya Minangkabau dengan daerah inti Sumatera Barat
terkenal sebagai gudangnya ulama dan pemikir-pemikir bangsa yang tangguh. Ini
tak lain karena mereka ditempa dalam kancah dinamika semangat profetik, yakni
kombinasi dimensi sosial yang profan dan dimensi trasendental yang menjadi akar
budaya Minangkabau. ( Yulizal Yunus, 1993 ). Kalau demikian, dari manakah
sumber Adat itu ?. Apakah yang dijadikan cikal bakal lembaga adat itu? Betulkah
adat itu pantas dan patut dipelajari, sehingga dapat mewariskannya kepada
generasi muda berikutnya ?.
Bagi orang Minangkabau yang mendasari adatnya dengan Adat Islamiah adalah
merupakan dasar utama bagi mereka yang tidak dapat tidak, harus dan wajib menuntut dua
perkara ilmu, yaitu ilmu Adat dan Syarak. Tuntutan atas dua
perkara ilmu yang berbeda namun satu dalam wadahnya. Antara adat yang mengatur
tatanan kehidupan manusia di dunia dan syarak yang menuntun manusia menuju
akhir kehi dupan di akhirat kelak, terjalin dalam hubungan yang harmonis tagang
nan bajelo-jelo, kandua nan badantiang-dantiang. Tali hubungan tersebut
merupakan wasilah, jalan, atau metoda bagi penuntut dua perkara
ilmu tersebut diatas. Istilah tersebut kemudian lebih dikenal sebagai Silat
Minangkabau. Silat dalam konteks pemahaman
orang-orang Minangkabau dahulu, seperti Silat Kata, Silat Lidah, Silat Akal, (mengacu
kepada sistem pembelajaran ini) dan dalam ungkapan tradisi Minangkabau,
pekerjaan itu disebut sebagai basilek di pangka karih, maniti mato padang.
Bukan belajar atau berlatih pencak silat ! Karena patah lidah tampek kalah patah karih tampek mati.
Keris ( karih ) merupakan kelengkapan pakaian penghulu sebagai
simbol tuah kebesaran Adat Minang kabau, sedangkan pedang adalah lambang
senjata perjuangan dalam menegakkan agama, lambang jihad fisabilillah untuk
diri sendiri, kaumnya dan bangsanya. Meniti mata pedang berarti meniti
jalan yang lurus dan benar. Jalan itu tajam seperti mata pedang, seperti yang
selalu kita minta dalam do’a : Ihdinas-sirathal mustaqim. Namun
manusia memiliki metoda sendiri, seperti orang Minangkabau berjalan pada alurnya
yang patut, yang makruf dengan perspektif : iduik
baraka, mati ba-iman, ba-adaik sapanjang jalan ( hidup berakal, mati
beriman, beradat sepanjang jalan kehidupan ).
Dengungan yang selalu bergetar mengungkapkan bahwa bangsa yang besar
selalu menghargai sejarah dan kebudayaannya ( adat ). Karena bangsa yang tidak
mengahargai dan budayanya akan hilang kepriba diannya. Lalu hanyut
diombang-ambingkan arus globalisasi. Karena itu menjadi amat penting pula untuk
membangkitkan kesadaran adat Minangkabau seirama dengan kesadaran bernagari
secara lebih transparan, dalam upaya mengantisipasi kerisauan-kerisauan di
tengah-tengah perpacuan transformasi
budaya abad ini. Sri Sultan Hamengku Buwono X, dalam makalahnya mengutip
Levi Strauss : “ Kita harus belajar, bagaimana agar sumber dinamika perubahan,
kreatifitas, pemer dekaan dan pembangkitan inovasi bisa menjadi penuntun dan
tidak malah bertab rakan dengan kebudayaan, tetapi diharapkan mampu menciptakan
koekstensi dan harmoni antar budaya”. ( Buwono X, 1997 : 2 ).
Dari perjalanan Islam di Minangkabau, penelusuran tentang apa yang
disebut seba gai nan bajanjang naiek, batanggo turun menggambarkan pandangan
Integralisme. Yakni filsafat yang mencoba merumuskan fikiran-fikiran kontemporer
bagi essensi filsafat tradisional Islam yang dibuat untuk membangun peradaban
Islam sebagai satu-satunya peradaban dunia. Integralisme, dianggap
sebagai super ideologi yang dipersem
bahkan penulisnya bagi generasi muda Islam, untuk dikembangkan sebagai landasan
bagi penyusunan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang khas Islam dimasa
depan. Seperti halnya Hikmah Islamiyah, yaitu filsafat tradisional Islam yang
merupakan landasan bagi peradaban Islam di masa lalu. ( Mahzar, 1982 ).
Namun Minangkabau, telah menghasilkan buatan (karya) dalam bentuk kesepakatan yang dituang dalam
lembaganya, bahwa konsep Adat basandi
Syarak, Syarak basandi Kitabullah
merupakan esensi rumusan-rumusan yang
diambil dari berbagai hukum yang yang sesuai dengan hukum-hukum yang berkem bang
di dunia pada zamannya, dengan memakai teori dan gagasan Sufistik. Dan gagasan
dimaksud dapat dilihat pada awal pembukaan naskah Tambo Minangkabau. ( TM.
Datuk Tuah, TM Edwar Djamaris ) dengan simbol Adam Sufi Allah atau Nur
Huruf Alif. Dengan semangat profetik para ulama dan ahli Adat, serta
ahli-ahli akal, Minangkabau akhirnya menemukan corak, langgam, dan irama khas
dalam penyusunan pranata sosial yang sesuai dan diterima sebagai satu-satunya
konsep yang menjadi landasan kehidupan bersama, dalam naungan panji-panji
Islam, sebagai super ideologi ( meminjam istilah Alfen Toffler ) terapan dalam
kehidupan nyata, dan tidak hanya sekedar teori. Tetapi nilai-nilainya melekat
erat pada diri manusia Minangkabau, serta merupakan sebuah kenyataan dalam
aplikasi kehidupan masyarakat pendu kungnya. Setidak-tidaknya Minangkabau pada Millenium kedua telah menghasilkan
produk budaya yang dipakai dan terpakai dalam bentuk protipe
tata-bangun masyarakat yang ideal, dalam naungan panji-panji peradaban Islam,
yang sangat mencengangkan dunia.
Adat dan Syarak, akhirnya kokoh menjadi sikap
dan pandangan hidup masyarakat Minangkabau di alamnya. Akankah aturan-aturan
dan hukum Adat yang telah teraplikasi dalam kehidupan masyarakat Minangkabau
se-alamnya, menjadi tunggul penebangan ? sementara gantinya tidak ada. Padahal
orang Minangkabau telah berpesan :
Warih bajawek, pusako batolong,
Adat dipakai baru, kain dipakai usang.
Pertumbuhan mental spritual seseorang
hanya akan hidup dan tumbuh subur bila berada dalam naungan cahaya”matahari
Islam”. Hanya matahari Islam yang memiliki daya tangkal terhadap serangan
ke bathilan. Baik yang datang dari dalam diri maupun dari luar. Hal itu
disebabkan adanya kekuatan penolong dari hidayah Tuhan Rabbul Alamin atas diri
orang-orang yang berada dalam sinaran matahari Islam. Tentunya dengan segala
kerelaannya melaksanakan perintah-perintah dan mematuhi setiap larangan,
sebagai mana yang telah ditetapkan Tuhan, Allah Swt.. Sehingganya Tuhan Yang Maha Kuasa
meridhoinya dengan cahaya suci yang turun dari alam ketuhanan yang maha tinggi.
Karena itu, dapat dipahami bahwa
pertumbuhan mental spiritual seseorang amat tergantung atas ca haya imannya. Hal
itu ditentukan oleh kesadaran seseorang yang mengakui dengan tulus dan ikhlas awal akhir
lahir dan batin bahwa dirinya adalah insan. Manusia yang diciptakan Tuhan Yang
Maha Menciptakan, dan ditumbuh suburkan lewat proses hukum-hukum alam yang
diciptakan pula untuk mengatur kehidupan itu oleh sang Khaliq’ul Alam. Al-Qur’an
menyebutnya sebagai Sunnatullah. Oleh karenanya, seseorang ti dak dapat
melepaskan diri dari kenyataan hukum-hukum alam yang telah diciptakan Tuhan
Rabbul ‘Alamin.
Hukum-hukum alam itu juga menyangkut hukum-hukum
penciptaan dan proses-proses kejadian manusia dan alam kehidupannya, dari semula
jadi sampai kesudahan tujuan kejadian penciptaan manusia itu sendiri. “Itulah
Sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan
menemukan peru bahan bagi Sunnatullah itu.” (SQ.Al-Fath:23).
Orang-orang Minangkabau sejak dahulu, bahkan sampai sekarang
masih menyatakan dirinya sebagai orang-orang yang belajar dari “Alam”. Mereka
menjadikan “Alam” sebagai “Guru”, untuk dipedomani. Oleh karena itu,
hukum-hukum alam yang telah diciptakan Tuhan seru sekalian Alam, perlu dipahami,
dihayati, dituruti dan diamalkan, lalu dipedomani dengan seksama bagi pengenalan, pembangkitan,
penempaan, pembinaan, dan pertumbuhan jasad jasmani, fisikal, mental, dan
spiritual. Sampai kepada perwujudan sikap, tindak, laku, dan perbuatan manusia,
menuju tujuan akhir penciptaan. Untuk itu tentu ada kewajiban-kewajiban yang
harus dilaksanakannya dengan segala aturan hubungan-hubungan vertikal dan
horizontal yang seimbang. Aturan hubungan-hubungan antara manusia, hubungan
manusia dengan makhluk ciptaan tuhan lainnya.
Hubungan manusia dengan alam
lingkungannya, serta hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Menciptakan
dirinya sendiri, telah diperkenalkan kepada kita lewat hukum-hukum Ilahi yang
disampaikan dalam kitab-kitab suci, dan contoh-contoh kehidupan para Nabi dan
RasulNya (a.s), serta cara-cara kehidupan dan kepemimpinan orang-orang saleh
yang telah mewarisi nilai-nilai hukum-hukum kehidupan ini bagi penataan
hubungan kehidupan manusia yang seimbang dan harmonis. Dan semuanya itu, telah
sempurna adanya dalam Al-Qur’an yang menjadi kitab suci umat Islam. Diperkuat
pula dengan contoh-contoh suri keteladanan yang diberikan oleh Nabi Muhammad
Saw. Sebagai penghulu sekalian Nabi dan Rasul as.
Al-Qur’an dengan jelas mengandung semua ajakan,
tawaran, suruhan, dan anjuran untuk mengikuti aturan-aturan yang telah
diciptakan Allah Swt. Untuk secara ikhlas bersedia dan rela menuruti
perintah-perintahNya. Dan mematuhi larangan-larangan-Nya, demi kepentingan
keselamatan dan kesejahteraan umat manusia itu sendiri dalam pengabdiannya
sebagai hamba Allah, di dunia dan akhirat. Untuk tidak kaku dan sempit
pemahamannya terhadap apa-apa yang difirmankan Allah Swt. Dalam Al-Qur’an
tersebut, maka manusiapun disuruh untuk mempergunakan “kekuatan akal’nya
seoptimal mungkin dalam usahanya meng hayati, mendalami, dan memahami
hukum-hukum alam ini. Dan membaca ayat-ayat Allah Swt. Baik yang telah
difirmankanNya secara tersurat, tersirat, maupun tersuruk serta diwajibkan untuk
mengimani dan meyakininya secara benar.
Disamping itu, bahkan Allah Swt, menganjurkan hamba-hambaNya yang saleh lagi memiliki “kekuatan akal” yang dihidayahkan Tuhan kepadanya,
untuk berusaha menyelami rahasia-rahasia gagasan Tuhan yang tersuruk,
tersembunyi di alam raya mau pun di dalam diri-diri manusia itu sendiri.
Kemudian secara tepat guna memberikan nuansa baru dalam “kias” dan “ibarat”
sebagai contoh-contoh perumpamaan yang tepat bagi sosialisasi nilai-nilai
kehidupan terpuji dan mulia, sebagai upaya mewujudkan “visi” masa depan yang
benar. Dan itu semua, hanya dapat dilakukan dengan kesadaran dan kemampuan
untuk “merefleksikan diri” secara benar pula dalam naungan kosmis cahaya
keimanan yang Haq.
Prasyarat untuk dapat melakukan refleksi diri dengan
benar, perlu adanya “cermin diri” yang bersih dan jernih. Dengan Cermin diri
yang jernih dan bersih itu diharapkan mampu menangkap hidayah sinar pantulan
atas tanggapan yang benar mengenai hukum-hukum Ilahi. Bagi kehidupan bersama,
maupun untuk diri sendiri. Wallahu Alam.