Laman


Rabu, 19 September 2012


MANGURASAI ADAT SEBAGAI SEBUAH METODE

Mangurasai adat, artinya mangureh, menguras, menampi dan mengi sai adat :

maindang manampi tareh,
batintiang dadak di niru,
dipilieh atah ciek-ciek
abih gabuak tingga bareh

Meneliti, mempelajari adat, menganalisa secara mendalam, secara rasik (sempurna) untuk memahami hakikat adat sehingga dapat diambil hik mah  dan kebenarannya berdasarkan ajaran Nan Bana. Duduak dan mandu duakkan sasuatu dalam limbagonya masing-masing. Artinya menempatkan nya sesuai dengan proporsinya masing-masing dalam wadahnya.  
Kosakata mangurasai  berasal dari kato kureh, kuras. Mangureh, arti nya menguras. Apa yang dikuras? Mengurasai adat artinya meneliti, menganalisa, memilah-milah, memahami dan menjelaskan “isi aturan adat”,  bukan “memamah biak kulitnya”, bahkan jauh dari pada itu sebenar nya harus bagi yang berakal untuk mengurasai esensi, atau hakikat adat itu.
Tetapi kosakata itu telah jauh bergeser maknanya, dan  hanya kita dengar pada kalimat “mangurehi anak bini” (berusaha keras menghidupi anak istri),atau seperti ucapan : “mangureh sajo karajo waang mah.” (artinya: menghabiskan saja kerjamu).  Kalimat-kalimat ini seperti yang kita dengar dalam bahasa “lapau”, bahasa “balai” bernada “kareh”, (keras)  dan sarkas). Atau ungkapan yang mengatakan “mancari bareh” (mencari rezeki), “induak bareh” (istri, bini, atau urang rumah) , “nan paralu tagak gantang” (yang perlu stok beras) dan lain-lain hanya ditafsirkan menjadi kiasan dangkal tersurat saja, tidak lagi ditafsirkan menurut pesan makna asalnya, makna tersirat.  
Pada hal bagi orang Minangkabau, bahasa simbol itu diambil dari alam kehidupan kehariannya. Sehingga apabila seseorang mengatakan “mancari bareh” secara kias, maka artinya akan jadi berlapis-lapis, sesuai konteksnya. Boleh jadi dimaksudkan sebagai mencari atau membeli beras secara lahirnya, tetapi juga bisa ditangkap maknanya sebagai mencari reze ki untuk hidup.  
 Tetapi dalam konteks tulisan ini, yang dimaksud “mencari bareh” ada lah  mencari sesuatu yang bernas, mencari butir-butir nilai ilmu, mencari esensi yang sebenarnya, untuk dimengerti . dipahami, dan dihayati, sehing ga tujuan akhir yang didapatkan adalah “paham”. Kalau sudah “paham” maka tidak ada lagi pertanyaan, tidak lagi helah, atau mencari-cari alasan.   Sebagai ilmu, berarti telah sampai pada puncaknya, pada batasnya. Di luar itu tidak terjangkau lagi oleh akal.  
Dengan demikian, cara mangureh yang dimaksud adalah seperti kata pepatah : mangaruak sahabih gauang, mahawai sahabih raso. Artinya menggali sedalam-dalamnya, memahami dan menghayati sehabis-habis akal rasa dan pikiran yang mampu dicapai dalam tujuan menuntut “ilmu (adat) keminangkabauan” mempelajari dan mendalami nilai-nilainya, bukan untuk sekedar orasi, atau bumbu pidato adat saja. Jadi kata-kata adat Minangkabau, tidak hanya disalin dan dibaca permukaannya saja, apa yang tertulis/tersurat saja, tetapi harus dibaca, dipahami, dihayati,  dan dilakukan dengan perbuatan amal prestasi yang nyata (diaplikasikan secara positif, bukan arti plesetan) dalam tataran makna tersurat, tersirat dan tersuruk.

dikubak kulik tampak isi (batang)
dikubak isi tampak tareh (nan talamun)
dikubak tareh tampak essensi (hakikat)
dikubak hakikat .. baru tau jo makrifat

Oleh karena itu “Mengurasai” sebagai sebuah metode penelitian dan kajian adat ternyata bersifat menyeluruh dan total menuju kedalaman makna hakikatnya, memiliki nilai plus dan khas. Karena kerja  mengurasai itu adalah :

Mangurasai adat  
maindang manampi tareh
manggisai jo mangayak
batintiang dadak diniru
barambuih jo miang sakam
dipilieh atah ciek-ciek
abih gabuak tingga bareh
dicupaki sado nan adoh
diambiek satanak ka dimakan
hasienyo,
makan sasuok kanyang samusim.

Mangurasai adat” inilah yang dimaksud adat dengan sifat “biaso” (biasa dan kebiasaan, sudah menjadi sifat dan fi’ilnya), yakni bernilai la zim, atau kelaziman adat dalam menerima, menurun wariskan, mendidik, mensosialisasikan dan mengaplikasikan nilai-nilainya sebagai amal ibadah dalam kehidupan. Seperti juga seorang guru atau pendidik yang membim bing anak asuh atau anak didiknya, yang sudah menjadi kelazimannya.   
Pada zamannya sebuah “kemahiran adat” telah “biasa-biasa” saja bagi ahlinya, seperti niniek mamak,  alim ulama, cadiek pandai, manti,  dubalang pandeka,  yang telah melazimkan ilmunya dari waktu ke waktu, dari musim ke musim  dari kurun ke kurun sebagai amal prestasi yang makruf dalam praktek kehidupan. Maka adatpun dipahami sebagai “sesuatu yang menjadi kebiasaan orang-orang dahulu saja”, pada hal konotasi pe ngertian “kebiasaan” yang dimaksud sekarang, dengan yang dimaksud “orang dahulu” jelas “beda”. Seperti disindirkan dalam petuah adat : 

urang daulu nan mandapek,
urang kini kahilangan.

Seumpama seorang dokter yang berpraktek, dimana mekanisme pe ngobatan di mulai dari mendiagnosa penyakit sampai kepada pelaksanaan pengobatan yang dilakukannya sudah merupakan system yang dilazimkan ilmunya sehari-hari, walaupun banyak pasien mengeluh karena tidak pa ham dengan system praktek kedokteran itu.
Demikian juga dalam Adat. Pada hal sangat diperlukan keseriusan dalam memahami  nilai-nilai adat itu, yang telah terbagi dalam empat klasifikasinya, yakni  :

·        Adat Yang Sebenar Adat,
·        Adat Yang Diadatkan,
·        Adat yang Teradat, dan
·        Adat Istiadat. 

“Adat Istiadat” (point akhir) merupakan kekayaan budaya umum pada permukaan yang bercampur baur antara yang boleh dengan yang tidak boleh. Menurut ulama, dinamakan  adaik nan saratuih, bacampua halal dengan haram.  Pada hal kalau Adat Minangkabau (Adat Nan Ampek) kita buka kita dalami, maka kita akan bertemu dengan isinya yang disebut Cupak Gantang dalam Adat !.



BASALIN BAJU PUSAKO

“Basalin baju pusako
baju tarok baju turai
turak turang baludu gandum
balahan baju dari sarugo
baju gadang ninik mamak
saluak destar pilin tigo
pinggang memakai pending ameh
tarsisik karih cumati intan
saruang bapalauik dengan perak
hulu bakarang ameh mutu
harago satimbang jo nagari.”
     
       Bahwa bersalin baju pusaka (mewarisi pangkat kebesaran datuk peng hulu, imam, khatib, malin, pandeka dalam adat) tersebut, harganya “setim bang” dengan “negeri”. “Setimbang dengan negeri” mengandung aspek makna “awal akhir, lahir dan batin” secara utuh dan tak terpisah-pisah seba gai sebuah “perserikatan hati segala manusia dalam alamnya”. Mengisya ratkan adanya kaitan dengan tuah kebesaran dan nama baik negerinya sen diri.  Seperti, “arang tacoreang di kaniang, kamaa muko disuruak-an.”   
      Pakaian penghulu tersebut bersama aksesori adatnya diibaratkan seba gai suntiang pangulu, merupakan kelengkapan yang cukup, dan amanah kaum (amanah bersama) yang harus disampaikan kepada yang berhak mene rimanya, sesuai dengan ukur jangka kemampuan penalaran dirinya sendiri. Pakaian Sapatagak yang akan dipakai hidup ditompang mati, merupakan kewajiban, amanah dan beban tanggung jawab moral seorang penghulu adat dalam AAM yang tetap, masih terpakai dan dipakai sampai hari ini, walaupun tidak lagi merata. Kombinasi harmonis nilai-nilai adat dan syarak tersebut telah bersinergi dalam prinsip  “aka nan lalu ka sarugo, jelo-bajelo ka tapian” dan terakumulasi, terkristalisasi dalam Undang dan Hukum Adat Alam MInangkabau (U-HAAM) yakni :

1). Adat Nan Sabana Adat,
2). Adat Nan Diadatkan,
3). Adat Nan Teradat, 
4). Adat Istiadat. 

Ubua-ubua ambiek ka suliang
padi anak rang saribulan
Tindawan tumbuah batang taguliang
tando beti manyatokan.

Dimano bumi dipijak
di sinan  langik dijunjuang
Dimano sumua dikali  
di sinan rantiang dipatah

Dimano nagari ditunggui,
di sinan adat nan bapakai
Dimano tapak di sinan jajak.

Itulah yang disebut Kendang Nan Bapakai, Pakaian Pusaka(Adat) Yang Dipakai, Pakaian Adat dalam Alam. Itu pulalah sebabnya setiap yang memegang jabatan adat itu, harus baginya untuk mengurasai adat, melak sanakan refresing adat, lokarya adat, sarasehan adat, pendidikan dan pembe lajaran adat kembali untuk anak kemenakan.. Siapakah yang akan melak sanakan? 

Limbago jalan batampuah
itu karajo niniek mamak
sarugo diiman taguah
narako dilaku awak

duduak sesuatu pado tampeknyo,
pacik karajo nan bamasiang,
nan bajanjang naiek batanggo turun 
nan bajokok bajukalo ….

Masalah adat kembali kepada orang adat, masalah agama kembali ke pada Ulama  masalah undang kembali kepada pemerintahan. Tungku Nan Tigo Sajarangan untuk mendapatkan kualitas manusia yang tiga pula : cadiek, tahu, pandai.  Dan semuanya itu tetap dalam naungan payung panji hukum alam “perserikatan  hati  manusia”, “perserikatan peri kemanusiaan yang adil dan beradab” dan beradat dengan adat manusia pula. Tidak ber arti antara satu sama lain “putus tali”, tetapi “harus terentang tali ikatan yang kuat”.
Rentangan pergantungan ikatan tali yang kuat itu adalah seperti per gantungan manusia kepada agamanya. Manusia yang beragama berarti ma nusia yang ber-Tuhan Esa, yang berpegang teguh kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Inilah tali pergantungan abadi dunia dan akhirat bagi semua penganut agama. Islam menyebut Tuhannya dengan Ism dzat Allah, dian tara nama-namanya yang banyak (asma 99). Oleh karena itu, setiap muk min dan mukminat diperintahkan untuk tetap berpegang teguh kepada tali pergatungannya dimanapun, kapanpun, dan dalam kondisi yang bagaimana pun,  “wa tashimu bihablillah”, berpegang teguhlah dengan “tali Allah”. Sifat tali Allah itu :

tagang bajelo-jelo
kandua badantiang-dantiang.
dijelokan mangkonyo tagang,
didantiangkan mangkonyo kandua.
di jalang mangkonyo datang,
disonsong mangkonyo tibo.

Disaru kalauNyo  jauah,
diimbau kalauNyo dakek,
ujuik satu pangana bunta, 
suaro nan indak kadangaran,
bisiek nan lapeh ka sarugo

Tagak nan usah manggamo,
langkah salasai jo ukuran
ditingkek janjang 
ditapiek banduaNyo
Bak pituah nan tuo-tuo juo :

Wakatu zaman nan lah tibo
kutiko hari nan lah datang
adaik nak patuik dikurasai
iyo paguno wakatu baiek
patuik mamakai  kutiko kini

Naknyo janieh kalang dimato,
naknyo sanang dalam hati
sajuak dalam kiro-kiro,
buektan taguah janji bakarang,
mupakat diganggam taguah,
 janji bapaciek arek
ikara nan bauni,
haram lillah manduo hati

habih dayo badan talatak
tibo paham aka baranti
ujuik satu pangana bunta
Kato, putuih sandiriNyo.”




Senin, 17 September 2012

CERMIN DIRI

Pertumbuhan mental spritual seseorang hanya akan hidup dan tumbuh subur bila berada dalam naungan cahaya ”matahari Islam”. Hanya mata hari Islam yang memiliki daya tangkal terha dap serangan kebathilan. Baik yang datang dari dalam diri mau pun dari luar. Hal itu disebabkan adanya kekuatan penolong dari hidayah Tuhan Rabbul Alamin atas diri orang-orang yang berada dalam sinaran matahar

i Islam. Tentunya dengan segala kerelaannya melaksanakan perintah-perintah dan mema tuhi setiap suruhan dan larangan, sebagai mana yang telah di te tapkan Tuhan. Sehingganya Tuhan Yang Maha Kuasa me ridhoinya dengan cahaya suci yang turun dari arasy, alam Ketu hanan Yang Mahatinggi.

Karena itu, dapat dipahami bahwa pertumbuhan mental spiri tual seseorang amat tergantung atas cahaya imannya. Hal itu ditentukan oleh kadar sejauh mana kesadaran seseorang me ngakui/mengimani dengan tulus dan ikhlas, awal akhir, lahir dan batin bahwa dirinya adalah insan mukmin. Manusia yang percaya bahwa ia yang percaya diciptakan Tu han Yang Maha Menciptakan, dan ditumbuh suburkan lewat proses hukum- hukum alam yang diciptakan pula untuk mengatur kehidupan itu oleh sang Khaliq’ul Alam. Al-Qur’an menyebut hukum- hukum yang mengendalikan kehidupan semesta alam dan dalam alam itu sebagai Sunnatullah.

Oleh karenanya, seseorang tidak dapat melepaskan diri dari kenyataan hukum-hukum alam semesta yang telah diciptakan Tuhan Rabbul ‘Alamin. Hukum-hukum alam itu juga menyang kut hukum-hukum penciptaan dan proses-proses kejadian manusia dan alam kehidupannya, dari “semula jadi” sampai “kesudahan tujuan kejadian” penciptaan manusia itu sendiri, dan makhluk-makhluk lain dalam alam. “Itulah Sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi Sunnatullah itu.” (SQ.Al-Fath:23).

Orang-orang Minangkabau sejak dahulu, bahkan sampai seka rang masih menyatakan dirinya belajar / berguru dari Alam. Mereka menjadikan “Alam” sebagai “Guru”, untuk mengambil hikmah kias dan ibarat untuk dipedomani dalam mengarungi samudera kehidupan.

Oleh karena itulah manusia Minangkabau pada zamannya sa ngat berpegang teguh dengan hukum-hukum alam yang telah diciptakan Tuhan Seru Sekalian Alam, dituruti dan dipa tuhi. Perintah umum yang diisyaratkan dalam Tambo Asa (Tambo Asal Usul, juga menjadi bagian dari sumpah jabatan Penghulu secara Adat di Minangkabau) : “kerjakan suruh hentikan larang” yang berasal dari perintah Syariat Agama Islam.

Perintah ini baik secara Adat atau Syarak wajib diteruskan kepada anak kemenakan dalam kaumnya, di kampung, koto dan nagari sealamnya, dipedomani dengan seksama bagi pe ngenalan, pembangkitan, penempaan, pembinaan, dan per tumbuhan jasad jasmani, fisikal, mental, dan spiritual. Sampai kepada perwujudan sikap, tindak, laku, dan perbuatan manu sia, menuju tujuan akhir penciptaan.
Untuk itu ada kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan nya dengan benar dengan segala aturan hubungan-hubungan vertikal dan horizontal yang seimbang. Inilah “Wasilah - Way Of Life-nya Minangkabau yang harus dibangkitkan kembali dan di transformasikan secara seimbang kembali.

Aturan hubungan-hubungan antara manusia, hubungan manusia dengan makhluk ciptaan tuhan lainnya, hubungan manusia dengan alam lingkungannya, serta hubungan manu sia dengan Tuhan Yang Maha Menciptakan dirinya sendiri, telah diperkenalkan kepada kita lewat hukum-hukum Ilahi yang disampaikan dalam kitab-kitab suci, dan contoh-contoh kehidupan para Nabi dan RasulNya (a.s), serta cara-cara kehidupan dan kepemimpinan orang-orang saleh yang telah mewarisi nilai-nilai hukum-hukum kehidupan ini bagi pembangunan karakter, penataan hubungan kehidupan manusia yang seimbang dan harmonis. Dan semuanya itu, telah sempurna adanya dalam Al-Qur’an yang menjadi kitab suci umat Islam. Diperkuat pula dengan contoh-contoh suri keteladanan yang diberikan oleh Nabi Muhammad Saw. Sebagai penghulu sekalian Nabi dan Rasul as.

Al-Qur’an dengan jelas mengandung semua ajakan, tawaran, suruhan, dan anjuran untuk mengikuti aturan-aturan yang telah diciptakan Allah Swt. Untuk secara ikhlas bersedia dan rela menuruti perintah-perintahNya. Dan mematuhi larangan-larangan-Nya, demi kepentingan keselamatan dan kesejahtera an umat manusia itu sendiri dalam pengabdiannya sebagai Hamba Allah, di dunia menuju akhirat.

Untuk tidak kaku dan sempit pemahamannya (teks book thinking) terhadap apa-apa yang difirmankan Allah Swt. dalam Al-Qur’an tersebut, maka manusiapun disuruh untuk memper gunakan ke kuatan akalnya seoptimal mungkin dalam usaha nya menghayati, mendalami, dan memahami hukum-hukum alam ini. Dan membaca ayat-ayat Allah Swt. baik yang telah difirmankanNya secara tersurat, tersirat, maupun tersuruk maupun “ayat-ayat” yang bertebaran dalam alam, serta diwa jibkan meng-imani dan meyakininya secara haq, benar. Proses ini tentu tidak segampang menyebutkannya saja, atau memba canya saja karena ada tahap-tahap perjuangan diri yang harus dilalui seperti ilmul yaqin, ainul yaqin sampai kepada martabat haqq'ul yaqin.

Bahkan Allah Swt, menganjurkan hamba-hambaNya yang saleh lagi memiliki kekuatan akal yang dihidayahkan Tuhan kepada nya, untuk berjuang / berusaha menyelami rahasia-rahasia asma dan sifat-sifat Tuhan yang tersuruk, yang menyimpan berbagai gagasan-gagasn tersembunyi di alam raya maupun di dalam diri-diri manusia itu sendiri. Kemudian secara tepat guna memberikan nuansa baru dalam “kias” dan “ibarat” (orang minang menyebutnya basisampiang, bukan batilanjang) seba gai contoh perumpamaan yang tepat bagi sosialisasi nilai-nilai kehidupan terpuji dan mulia.
Hal ini sebagai upaya mewujudkan “visi” dan “misi” masa depan yang sejahtera, adil dan benar. Dan itu semua, hanya dapat dilakukan dengan kesadaran dan kemampuan untuk “merefleksikan diri” secara benar pula dalam naungan kosmis mataharinya Islam, cahaya keimanan yang Haq.

Prasyarat untuk dapat melakukan refleksi diri dengan benar, perlu adanya “cermin diri” yang bersih dan jernih. Dengan Cer min diri yang jernih dan bersih itu diharapkan mampu menang kap hidayah sinar pantulan atas tanggapan yang benar dan adil mengenai hukum-hukum Ilahi, bagi tuntunan kehidupan diri sendiri, keluarga dan bersama umat.

Jujuanglah langik jo bicaro, bumi nan jaan katirisan .. !

Wallahu Alam.

Catatanku di Pelita Hati - Tabloid Al-Hijrah 2002
diperbarui, 2012. Emral Djamal Dt. Rajo Mudo
MEMBANGUN TITIAN AKA DAN JEMBATAN HATI

Titian Aka dan Jembatan Hati atau jembatan rasa, mawaddah fil qurba harus bersih dari kedurhakaan dan kemunafikan. Jembatan Rasa akan kuat dan kokoh bila melalui Titian Aka , karena Akal fikiran akan menambatkannya dalam hati dengan ikatan tali Allah yang amat kuat.

Ikatan itu adalah kalimah tauhid.

Hati akan menjadi sumber kekuatan yang ampuh dalam ukhuwah yang integratif apabila berpegang teguh
kepada Tali Allah.

Kalimah tauhid, atau kalimatun thayyibah, dapat memben tengi diri sendiri dan ummat serta mampu menjadi kekuatan dalam membina persaudaraan atas dasar ukhuwwah imaniyah.

Semoga.
2. DATUK PERPATIH NAN SABATANG

Datuk Perpatih Nan Sabatang merupakan tokoh yang tampil pada setiap Tambo di Minangkabau. Namanya juga ada pada kitab dari luar Minangkabau. Buku “Hikayat Raja-Raja Pasai” dari Pasai Aceh menyebut dengan nama Patih Sawatang, Prasasti (Batu Basurek) yang ditulis pada masa Adityawarman menjadi raja disebut dengan nama Dewa Tuhan Parapatih, dan lazim ditulis ke tulisa

n latin dan Malayu dengan nama Dewa Tuan Prapatih atau Dewa Tuan Prapatih. Walaupun ada yang tidak percaya, tetapi dengan adanya prasasti itu menunjukkan bahwa Datuk Parpatih Nan Sabatang seorang tokoh sejarah.
Tambo Bungka Nan Piawai ataupun Silsilah Raja-Raja Minangka bau di Gunung Marapi atau Silsilah Rajo Rajo di Pagaruyung menyebutkan Datuk Perpatih Nan Sabatang adik seibu oleh Datuk Katumanggungan. Berbagai Tambo menyebutkan nama beliau Jatang Sutan Balun yang dipanggilkan juga dengan Puto Balun. Ibu beliau Puti Indojalito dan ayah beliau seorang Cendekiawan alim ilmu yang bernama Hiyang Indojati bergelar kan Datuk Cati Bilang Pandai dan disebut juga Tuan Cati.
Tidaklah lengkap membicarakan “Minangkabau” kalau tokoh “cati bilang pandai” ini dianggap sebagai sebuah “sempalan” saja. Siapakah Hyang Indojati yang begitu populer dengan gelar Cati Bilang Pandai” di Pariangan itu sebenarnya ?
Sutan Balun lahir pada permulaan abad ke-14. Berbagai Tambo menyebutkan masa mudanya hidup mengembara, ke Aceh kemudian ke anak benua India, seterusnya ke anak benua Cina, lantas ke daratan Asia Tenggara, ke Maluku, Sulawesi, Kalimantan dan Jawa. Suatu suku Dayak di Hulu Sungai Barito dan Kapuas di Kalimantan disebut Dayak Mamak, mengaku keturunan Datuk Parpatih Nan Sabatang dalam perkawinannya dengan seorang perempuan Dayak.
Sekembali dari rantau ia menggugat Undang-Undang Tarik Ba las yang berlaku pada waktu itu di kerajaannya, dan menge ritik berbagai tatacara perkawinan yang serampangan di negeri nya, yakni Kerajaan Pariangan. Maka diusulkannyalah Undang Undang yang menghilangkan hukuman mati, menyusun hu kum perkawinan, serta aturan-aturan hubungan antara keluarga, antara kelompok antara wilayah kerajaan dengan jalinan hubungan yang harmonis dalam solidaritas kebersamaan nya.
Oleh Raja, yakni kakaknya sendiri ia diminta untuk meninjau ulang dan menata kembali “buektan” terdahulu yang berlaku secara menyeluruh dan menyusun undang-undang baru yang dapat diterima semua pihak. Ia mengerjakan bersama raja dan dengan tuntunan mamanda mereka berdua yakni Datuk Suri Dirajo, beserta Tuan Cati. Oleh raja, ia diangkat sebagai Patih (Perdana Menteri dengan gelar Datuk Perpatih Nan Saba tang).
Ketika pada tahun 1347 Adityawarman datang, ia menolak untuk menghadapinya dengan peperangan tetapi menyambut dengan cara menjalin hubungan kekeluargaan. Adinda mereka berdua yakni Puti Reno Jalito yang dikenal juga sebagai Puti Reno Jamilan menjadi permaisuri Adityawarman yang dinobat kan sebagai raja. Dari pihak Adityawarman sendiri, ia datang memindahkan pusat kerajaan Malayupura Darmasyraya ke Pagaruyung.
Oleh Adityawarman ia diangkat sebagai raja kedua ( di Jawa disebut Ratu Angabaya). Tetapi di masa tuanya hidup sebagai Guru Besar Adat di Solok, Kubuang Tigo Baleh. Ia hidup bersa ma istrinya bernama Tabik dan dengan anak-anaknya di kam pung Korong Gadang, Solok. Tempat bermusyawarahnya di bawah Kayu Jao.
Di Kotogaek Guguak, Datuk Parpatih Nan Sabatang menghim pun pemuka-pemuka Bodi Caniago dan melakukan pembagian suku untuk seluruh masyarakat Bodi Caniago baik yang ada di wilayah Kelarasan Bodi Caniago, maupun yang ada di wilayah Kelarasan Koto Piliang. Beliau meninggal dunia dalam usia yang cukup tua, dan dimakamkan di Munggu Tanah, Salayo.

Dok. Emral Djamal Dt. Rajo Mudo
Salimbado, Pusat Kajian Tradisi Minangkabau
diperbaharui 2012
MENGENANG TOKOH BESAR ALAM MINANGKABAU

Tokoh terkenal yang mengkaji, menelaah dan menata kembali Adat Alam Minang kabau (disngkat AAM) itu, yang kemudian lebih dikenal sebagai tokoh pemikir dan pendiri Kebudayaan Minangkabau adalah dua bersaudara satu ibu lain ayah, yakni Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Kedua datuk inilah dibawah bimbingan mamak kandungnya Datuk Suri Dirajo,

Penghulu Pucuk Pa riangan yang meletak kan sendi-sendi dasarnya kembali dari masing-masing ajaran be liau yang dikenal sebagai Ajaran Adat Perpatih dan Ajaran Adat Katumanggungan. Sumber utama kedua ajaran tersebut dengan tegas dikatakan dari Alam Takambang Jadikan Guru. Bagaimana kita bisa menafsirkan ungkapan adat : “Alam Takambang Jadikan Guru” ini secara arif dan benar ? Tentulah tidak semudah menyebut ungkapannya saja. Sementara kita tidak pernah belajar tentang “ALAM” yang berlapis-lapis ini.

1. DATUAK KATUMANGGUANGAN

Datuk Ketumanggungan adalah tokoh yang tampil pada setiap Tambo Minang kabau. Ibunya adalah Puti Indojalito (bukan Indojati–pen.), adik kandung Datuk Suri Dirajo tokoh senior yang menjadi tampuk pimpinan dan Pucuk Penghulu Nagari Tuo Pariangan. Puti Indojalito nikah dengan seorang raja dari keturunan Dinasti Syailendra yang mula-mula menjadi raja di Palembang, bekas bandar pelabuhan yang didirikan oleh Raja Sriwijaya, yakni di pinggir Batang Hari Air Musi. Beliau ini dikenal dengan julukan Sang Sapurba, dengan nama Taramberi Teri buana. Sebelumnya juga dikenal dengan nama Kramo Kratu Agung atau Rama Ratu Agung yang menjadi raja di Natanpura (Natan di hulu Air Rawas) dan di Liwa (hulu Air Musi), berang kat ke negeri Tiga Laras, menjadi raja di Suwarnapura. Kemudian naik ke pinggang gunung Marapi, nikah dengan seorang putri dari Pariangan. Selanjutnya setelah perkawinan nya dengan Puti Indojalito raja putri Gunung Merapi ia diduduk kan menjadi Raja Pariangan dengan menyandang gelar Sri Ma harajo Dirajo. Dari Pariangan kemudian pindah dan berkedu dukan di Kumanis.
Nama raja ini lebih dikenal di Minangkabau adalah Raja Natan Sangseto Sang kalo, atau Raja Natan Sangsita Sangkala, ber gelar kebesaran sebagai Daulat Mahkota Yang Dipertuan Sri Maharajo Dirajo. Putra satu-satunya raja ini adalah Datuk Katu manggungan yang menurut tambo bernama kecil Puto Basa, atau lengkapnya Sutan Paduko Basa (Sultan Paduka Besar). Ayahandanya (Raja Natan Sangsita Sangkala) meninggal dunia ketika Paduko Basa (Putra Besar) masih kecil.
Ketika masa kecil itu pulalah Paduko Basa dinobatkan sebagai raja dengan gelar Sultan Maharajo Basa (Sultan Malik Besar). Sebenarnya beliau adalah seorang raja yang memimpin sebuah kerajaan kesultanan yang telah memeluk agama Islam dengan menyandang gelar kebesaran Sultan Paduka Besar. Bahkan se bagian Tambo menuliskan nama beliau Sultan Al-Malik Al-Akbar (baca juga Djamaris) atau Sultan Malik Besar, Sultan Maharaja Besar, dan dalam dialek Minang sehari-hari disebut saja dengan Su(l)tan Ma(ha) rajo Basa. Sebagai seorang raja Pariangan beliau juga mewarisi gelar ayahnya Sri Maha rajo Dirajo Peme gang Tampuk Pulau Ameh atau Pulau Paco. Mula-mula yang menjadi wali baginda adalah Datuk Suri Dirajo, mamak kan dung beliau, pucuk penghulu pewaris kerajaan Gunung Marapi di Pariangan, dan setelah baginda cukup dewasa, langsung memegang kendali pucuk penghulu atau raja kerajaan Pariangan. Baginda memerintah dengan memakai undang-undang Tarik Balas (Kisas)
Ketika reformasi terjadi, adat ditata kembali dan hadir undang-undang baru yakni undang-undang adat yang dikenal dengan nama hukum nan duo puluah duo, (sebagian lain ada yang menyebutnya dengan (Batu Nan Duopuluah Duo) serta merta beliau melepaskan gelar semula yakni Daulat Mahkota Alam Yang Dipertuan Maharajo Basa (Sultan Al-Malikul Akbar) me makai gelar Datuk Ketumanggungan. Sedangkan adinda beliau yang bungsu bernama Cumatang Sikalok Dunie, atau Cumatang Sutan diangkat menjadi Tumenggung dengan gelar Sri Maharajo Nan Banego-nego. ( dalam nama Islam dikenal sebagai Sultan Iskandarsyah Perkasa Alam Johan Berdaulat Fil Alam, dan kelak ketika di Indrapura memakai gelar resmi kebesaran martabat kesultanan sebagai Sultan Muham madsyah, menerima waris dari ayahnya). Sebelumnya, ketika memegang tampuk Nan Salareh Batang Bangkaweh (di Pari angan nama Sultan Muhammadsyah tidaklah populer, bahkan hilang sama sekali di darek).
Sebelum Adityawarman datang, Datuk Ketumanggungan telah menerapkan sis tem pemerintahan berimbang dan membagi sistim pemerintahan wilayah kerajaan Pariangan dengan Datuk Perpatih Nan Sabatang dalam bentuk Kelarasan Koto Piliang (KKP) dan Kelarasan Bodi Caniago (KBC). Adat KKP berkedudukan di Bungo Satang kai, Sungai Tarab, langsung diperintah raja, menjunjung daulat mahkota alam. KBC berkedudukan di Dusun Tuo, Limo Kaum memakai sistem kekuasaan langsung di kendalikan musyawarah dan mufakat rakyat lewat perwakilannya, dan memilih pimpinan yang dinamakan Pucuak Bulek ka Ganti Rajo. Pada wilayah Kelara san Koto Piliang, Datuk Ketumanggungan menerapkan sistem dan struktur adat bajanjang naiek ba-tanggo turun dengan bentuk pemerintahan kerajaan (autokrasi).

Begitu Adityawarman menuju Pariangan, karena pernikahan nya dengan Puti Reno Jalito (putri bungsu dari Puti Indo Jalito), maka dengan sendirinya Adityawarman mempergu nakan kekuasaannya dan menduduki kerajaan. Datuk Ketu manggungan atas anjuran Datuk Perpatih Nan Sabatang meninggalkan kampung halaman. Mula-mula ke Koto Anau. Kemudian menghiliri Batang Hari, menetap di Sialang Balantak Basi dan Durian Ditakuk Rajo. Dari sini pergi ke Natan, dinobat kan menjadi raja di sana.
Walaupun tidak pernah dituliskan secara terang-terangan, karena nenek moyang Minangkabau tidak mewariskan sejarah perang, atau kemelut politik secara terang-terangan karena itu adalah sikap yang tidak baik untuk generasi berikutnya. Tidak sama dengan Cina yang penuh dendam antara gene rasi, antara suku karena peristiwa sejarah yang diturunkan yang penuh gejolak dan perang antar sesama dinasti. Karena itu ada isyarat sebelum kedatangan Adityawarman atau pada saat Adityawarman datang telah terjadi konflik perebutan ke kuasaan antara tiga dynasti yang ada di Lereng Gunung Mara pi, apalagi karena kedatangan “Anggang dari Lawik”. Jalan da mai satu-satunya hanya dengan mengawinkan seorang Putri Pariangan keturunan Pasumayam Koto Batu. Bahkan ketika Adityawarman telah berkuasa, raja ini mencoba menawar kan konsep pemerintahan kerajaan seperti di Majapahit. Tetapi terang-terangan Datuk Perpatih Nan Sabatang menolaknya. Lalu menggantinya dengan sistim Ampek Jinih.
Itulah sebabnya terjadi penyingkiran kekuasaan terhadap Datuk Katumanggung an, entah ini “semacam kudeta halus”. Beliau juga pergi ke Liwa (hulu Air Musi). Istri beliau Puti Sam puti, meninggal di kawasan Muara Rupit. Beliau meninggal di kawasan Bukit Siguntang dan kuburan beliau disebut Kramat Seguntang. Kelak, Putri beliau Puti Reno Dewi menjadi permai suri dari Raja Baramah, dalam prasasti disebut Ananggawarman dan juga bergelar Raja Mauliwarmadewa (putra Adityawarman dengan Puti Reno Jalito). Sedangkan saudari dari raja ini Dewi Renodewi Sanggowani (menurut Tambo Bungka Nan Piawai, Silsilah Rajo-Rajo Minangkabau di Pagaruyung) menikah dengan Rajo Dianjuang putera dari Puto Balun Datuk Perpatih Nan Sabatang dengan istrinya Tabik. (bersambung)
MENGENANG TOKOH BESAR AAM

Berbicara tentang Adat Alam Minangkabau, tidak dapat dipisah kan dari dua tokoh besar yang sampai kini disanjung oleh orang Minangkabau karena dipercaya sebagai pencetus ajaran Adat Alam Minangkabau. Keduanya adalah Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Katumanggungan. Kedua tokoh besar ini sebetulnya MELAKUKAN REFORMASI dan menata kembali Adat Alam Minangkabau, karena A

dat Alam Minangkabau itu sendiri sudah ada jauh sebelumnya bersamaan dengan keha diran “alam negeri” itu yang berjalan sepanjang episode seja rah ‘pulau paco”nya yang panjang, sejak dari Galundi Nan Baselo, Pasumayam Koto Batu, Pariangan Padang Panjang, sampai ke zaman timbulnya Pagaruyung sebagai sebuah kerajaan Nagari.
Datuk Perpatih Nan Sabatang dari Pariangan dikenal dengan ajarannya yang berpangkal tolak dari rakyat, kepada persamaan hak dan kewajiban, persamaan bertindak dan tanggung jawab, dengan persamaan ke merdekaan pribadi dan persamaan pada keterikatan kebersamaan. Ajaran nya merupakan ajaran yang memuliakan hak dan kewajiban pribadi se tiap orang. Sehingga segala keperluan bersama hendaklah diputuskan bersama dengan cara bermufakat dan bermasyuarat (bermusyawarah).
Kebesaran ajaran reformasi Datuk Perpatih Nan Sabatang diletakkan pada kata sepakat dalam permufakatannya, ber sendikan alua jo patuik. Ajaran ini disebut ajaran Perpatih, ialah ajaran yang mengajarkan “alua jo patuik”, “sawah berpematang, ladang berbintalak, karatau ber linjuang”, “duduak samo randah tagak samo tinggi, putuih kato dek sapakat”, “tidak ada perkawinan yang serampangan”, tetapi harus berpedoman kepada “barih balabeh pituah adat, yang telah dirumuskan sepanjang adat”. Ajaran adat ini juga disebut “ajaran bamamak-bakamanakan”, “ajaran urang basuku, urang basako bapusako” dalam urusan ke dalam membangun, membentuk karakter dan membina kepribadian anak kemenakan sepanjang adat dalam garis matrilini yang di anutnya. Tatacara pembinaan, dan pengawasan anak keme nakan diatur dalam payung-payung Penghulu Ninik Mamaknya masing-masing sepanjang adat. Petuah adat mengatakan “Pangulu tagak di balabeh (balabeh adat) !”
Sedangkan Datuak Katumanggungan dikenal dengan ajaran nya ke pada tingkatan bertindak dan tanggung jawab keluar, tingkatan kemerdekaan pribadi dan kebersamaan, tingkatan hak dan kewajiban dalam wilayah kekuasaan yang telah ditentukan. Hak utama dan tanggung jawab utama yang memimpin wilayah mereka ada pada orang yang dipercaya untuk itu, yakni raja atau penguasa. Karena itu sistem kekuasaannya sampai ke tingkat nagari memakai adat barajo -rajo, bajanjang naiek ba tanggo turun, artinya ada hirarkinya.
Petuah adatnya mengatakan “ rajo gadangnyo ka lawik” arti nya rajo memimpin urusan keluar, terhadap kemungkinan adanya serangan dari luar, tidak urusan ke dalam, karena itu wewenang ninik mamak urang basuku, urang basako bapusako ! Karena itu dapat diterima setiap nagari memiliki raja-raja sendiri yang dibesarkan dalam lingkungan wilayah nagari mereka sendiri, bertugas mewakili nagarinya ke luar dalam urusan kekuasaan yang lebih tinggi.
Ajaran adat barajo-rajo ini disebut ajaran Katumanggungan, ialah ajaran yang mengajarkan “kekuasaan nan bajanjang naiek batanggo turun”. Kedua-duanya dengan tujuan mempertinggi derajat manusia, dan mempertinggi taraf hidup dan kesejah teraan manusia / masyarakat dalam lingkungan budaya mereka. Bumi sanang padi manjadi, rakyat aman santoso tibo.
Ajaran Perpatih kekuatannya pada pembinaan karakter “Budi Nan Barago”, pembinaan akhlak yang baik dan adatnya merupakan sistem dan struktur yang disebut Kelarasan Bodi Caniago. Sedangkan ajaran Katumanggungan kekuatannya pada pembinaan sistem kekuasaan dengan disiplin-disiplin yang telah digariskan secara strategis berdasarkan “Kato Pilihan” dan adatnya merupakan sistem dan struktur yang disebut Kelarasan Koto Piliang, menurut garis patrilini. Petuah adat mengatakan : rajo tagak di barih (garis adat) !
Ajaran keduanya merupakan penggabungan pemahaman terhadap bumi / ibu pertiwi yakni yang berpangkal tolak dari ragam (realitas) dunia di satu pihak, dan terhadap langit / akhirat yakni berpangkal tolak dari rindu (idealitas) di lain pihak. Bodi Caniago lebih dominan pandangan “kebumian”nya dengan nilai-nilai aplikasi yang “membumi”, menghidupkan dan menyuburkan bumi, sedangkan Koto Piliang padanya lebih dominan pandangan hidup “kelangitan”nya, segala sesuatu titik dari atas, pengabdian tanpa pamrih menuju akhiratnya. Tetapi keduanya dalam pelaksanaan menyatu dalam suatu pemahaman yang dikendalikan, diatur dan diawasi dengan :
“tanun pusako,
turak turang baludu gandum,
balahan baju dari sarugo,
digatieh anak bidodari
disinggang dalam api
di ruhum batamukan
ka kendang-kendang pamandi dek nan gondan.”

Yakni apa yang kemudian dikenal sebagai Undang dan Hukum Adat Alam Minangkabau (U-HAAM) yang berlaku dan diberlakukan sepanjang adat dalam wilayah Hukum Adat Alam Minangkabau pada zamannya. Masihkah sekarang … ? Masalahnya, kenapa adat dan agama dipertentangkan ?

Dok. Emral Djamal Dt. Rajo Mudo
Salimbado, Pusat Kajian Tradisi Minangkabau
Diperbaharui, 2012