Laman


Kamis, 27 Oktober 2011

Bagaimana Tradisi Alam Minangkabau ?



Bahwa yang namanya manusia Minangkabau itu pada zamannya adalah pemeluk agama Islam yang taat, beriman dan berilmu, memiliki pengeta huan lahir dan bathin, awal dan akhir karena sempat ditempa dalam kancah pemikiran falsafah Alam Takambang Jadikan Guru, yang menjadikan anak kemenakan mereka sebagai insan mukmin yang taqwa, yang setelah besar diharapkan muncul sebagai  raja-raja nagari, penguasa, pemimpin, penghulu, pakar, atau orang tua-orang tua yang arif dan bijaksana seperti Sultan, Raja, Ninik Mamak, Penghulu Adat, Alim Ulama, Syaikh, Imam, Khatib,  Cati Bilang Pandai, dan Manti, pendekar-pendekar negeri mereka terdahulu dengan bimbingan para Alim Ilmu, Tuangku-Tuangku Surau, Tuangku Salieh pewaris Nabi Saw. bahkan Sultan-Sultan yang bertaraf Sieh Ole (Syeikh Aulia).
Dengan dasar itu pula nenek moyang pendiri kebudayaan Minangkabau tidak menyebut wilayah mereka secara lahiriah seperti “daerah” atau “negara”, apalagi Republik misalnya, tetapi “Alam Minangkabau”. Kosakata “Alam” mengisyaratkan pengertian yang berlapis-lapis, karena “alam” di ciptakan berlapis-lapis adanya.  Untuk itu seorang anak kemenakan, atau siapa saja yang berminat memerhati  Kebudayaan Minangkabau diharuskan untuk menembus kosmos “Alam (Fikiran) Minangkabau” yang berlapis itu dengan kekuatan akal fikirannya, akal budi Nan Bana terlebih dahulu, bukan “akal-akalan”, atau “akal sembarang akal”.  Kalau tidak, maka ia tidak akan mengerti apa-apa, bahkan bisa menyesatkan!.     
Tidaklah aneh kalau Minangkabau itu mencapai puncak kejayaan dalam kualitas akal budinya, dengan kemampuannya menata kehidupan masyarakat demokrasi dengan tatanan ekonomi, sosial, dan budaya yang apik, pada zamannya, efektif, taktis dan strategis dengan kualifikasi  indak lakang dek paneh indak lapuak dek hujan.  Dan akhirnya “mentradisi” menjadi produk budaya yang kita kenal dengan “tradisi” kehidupan anak kemenakan mereka dari generasi ke generasi. Akankah “tradisi” itu dibiarkan terpinggir begitu saja ?
Walaupun pada zamannya tatanan itu dalam konteks masyarakat agraris, bersifat statis, karena kehidupan yang menetap, namun dengan kearifan tersendiri nilai-nilai kebudayaan tradisi juga akan mampu ditransfor masikan dalam kehidupan budaya masyarakat industri teknologi secanggih apapun, karena kualitasnya sekecil apapun ternyata memiliki nilai-nilai semesta, pemikiran universal, seperti telah diisyaratkan bahwa : “walau sagadang bijo labu, bumi jo langik ado di dalam.”
Begitu pula dalam mengikuti perkembangan dan kemajuan zaman, ternyata nilai-nilai tradisi itu mampu beradaptasi seperti pesan adat menga takan :

“sakali air gadang sakali tapian baralieh,
walau baralieh (esensinya) di sinan juo.”  

Hal ini terbukti dan dapat diterima karena Minangkabau dalam sistem berfikirnya memakai konsep sinergi hubungan ke dalam (ke Luak) dan ke luar (ke rantau) berkiprah di atas landasan tungku tigo sejarangan yang kokoh, dengan perangkat  pancaindra sesuai dengan petunjuk Nabi Saw. Penghulu Sekalian Alam, seperti yang terdapat dalam berbagai Tambo Minangkabau, yakni berkenaan dengan alat Pancaindra yang digunakan, tidak saja panca indra lahir seperti mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit, tetapi juga panca indra batin, yang terdiri dari : raso, pareso, cinto, kiro-kiro, dan pambaun.
Secara ringkas adagium adat Minangkabau mengatakan raso jo pareso. Dzahir hubungan mencari persaudaraan, batin hubungan mencari raso jo pareso. (Hal ini akan dikupas dalam tulisan tersendiri untuk itu). Karena itu pula berbagai karya seni dan sastra tradisinya seperti Tambo Alam, Tambo Adat, Tambo Nagari, Sastra Kaba dan berbagai pemikiran-pemikiran Alam Minangkabau yang tertuang dalam syair, pantun, pepatah petitih adat atau pidato adat, banyak sekali ungkapan-ungkapannya yang tidak dapat dimaknai, ditafsirkan secara lahiriah saja, karena hal tersebut mencakupi wilayah bathin dalam aras kesadaran kolektif ruhani manusia Minangkabau yang menghayatinya, sehingga antara mereka selalu bisa berinteraksi secara baik, dari zaman ke zaman, dari masa ke masa. 
  Jelas saja para ahli yang mengandalkan pemikiran-pemikiran rasional, yang mencoba manganalisa kaba atau ungkapan-ungkapan seni sastra dalam adat Minangkabau secara lahiriah, secara tersurat saja (teks book thingking)  akan terjebak dalam kenaifan penafsirannya. Bahkan bisa menyesatkan.  Karena mereka tidak mewarisi pisau analisa berupa  metoda dan teknik penelitian, serta analisa berfikir dalam corak dan gaya Alam Fikiran Minang kabau untuk membedah karya-karya tradisi, berupa seni dan falsafah hidup (way of life) manusianya  dalam tataran makna tradisi budaya tasurek, tasirek dan tasuruak dalam tutur bahasa dan bahasa tutur Minangkabau.    
Atau memang karena mereka tidak memiliki Cermin Terus, Cermin Hatiuntuk merefleksikan fikiran, tindak laku dan perbuatannya sendiri sehingga mampu membedakan antara yang haq dengan yang batil, baik dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, bahkan dalam menjalani kehidupan itu sendiri.  Sementara Minangkabau telah mengisyaratkan adanya berbagai deskripsi adat tentang berbagai aspek kesadaran kemanusiaannya dalam ungkapan tradisi  :


Tagak diri dek lahie
nan lahie ado ba-batin
nan batin ado kulipiknyo (rahasio)
dalam kulipik bakulipik (barahasio) pulo
     
Maksudnya, dalam alam fikiran Minangkabau seorang itu harus dipahami sebagai seorang pribadi yang memiliki aspek-aspek diri dengan 4 aras kesadaran yang berlapis-lapis,yakni :

-      aras kesadaran lahir (jism-jasmani, fisikal)
-      aras kesadaran batin (nafsiyah, psike)
-      aras kesadaran tersembunyi,  (qalbiyah – budi ) 
-      aras kesadaran rahasia (ruhiyah, ruh kebenaran) 

         Empat aras kesadaran ini, juga tercermin dari 4 jenis batang ilmu pengetahuan yang tersebut dahulu, juga selaras pada tataran makna : “Jalan Nan Ampek”, “Adat Nan Ampek”, “Undang Nan Ampek”, “Kato Nan Ampek”, dan lain-lain azaz seba empat yang menjadi ciri “way of life”, wasilahnya manusia Minangkabau. Kemudian terpatri dengan ikatan yang kuat, “berbuhul mati”  dalam rangkuman “Kalimah Nan Ampek” sebagai seorang hamba mukmin  sejati sesuai dengan keyakinan agama Islam yang dianutnya.
Buhul Mati Kalimah Nan Ampek, diimani, dipelajari, dipahami, dihayati dan diamalkan oleh manusia Minangkabau bahwa tidak ada Tuhan yang lainnya yang pantas untuk disembah, dipuja atau dipuji, kecuali Tuhan yang bersinggasana dan menggetari hati, dengan kuasa dan kekuatan tersembunyi dalam arasy getaran ruhani, terhunjam dalam dzikrullah, dzikir  Kalimah al Haq, Kalimah Tayyibah Laa Ilaaha illa Allah.  Dan Nabi Muhammad Saw. adalah sebaik-baik Wasilah-Nya.  Salawat dan Salam untuk Nabi Muhammad Saw. beserta  ahlinya. 

Secara analogi ada 4 aspek yang tehimpun dalam nilai-nilai tradisi Budaya Alam Minangkabau (BAM) secara utuh.  Keempat aspek itu seperti juga tercermin dalam tradisi Silek Minang yakni aspek kesadaran jasmani (kesadaran lahir, kebugaran jasmani dan olahraga, olah tubuh), aspek kesadaran sanubari (kesadaran batin dan seni pengolahan gerak dan getarnya jiwa), aspek kesadaran nurani, yang  tersembunyi dalam hati nurani (akal-budi) sebagai strategi ketahanan dan kesehatan diri, mental dan spiritual  dan aspek kesadaran ruhihi (ruhiyah) rahasia yang dibimbing dalam nafas ketaqwaan kepada Allah Swt.       
Jadi tidak mungkin menilai Adat, Budaya Alam Minangkabau (BAM) itu hanya dari kulit luarnya saja, pada sebutannya saja, pada pandangan lahiriah yang tampak saja, tetapi nilailah ke dalam hatinya, ke dalam  lubuk akal-budinya, selamilah kedalam syariat dan hakikat agama Islam yang diyakini komunitasnya, keruklah kedalaman esensi, jatidiri dan izzah nafsi manusia Minangkabau itu.  Inilah yang sulit, karena  “dalam laut dapat di duga, dalam hati manusia siapa tahu.” 

Urang Tuo mengingatkan :

Tuanku banyak nan kiramaik,
 pangulu banyak nan batuah,
cati banyak nan pandai,
manti banyak nan piawai,
dubalang banyak nan dareh.

Konon, itu dahulu zaman ninik muyang kito nan turun dari lereng gunuang Marapi, zaman Alam Minangkabu ba-Luhak jo ba-Rantau  zaman nagari barajo-rajo, entahlah sekarang. Walaupun begitu, “abih gali dek galitiek, abih biso dek biaso, abih adaik dek limbago, abih limbago dek buatan, abih buatan dek bakarilaan.” Sehingga dapat dipahami apa yang dituju oleh petuah adat :

Dunia abih kiamaik tibo
labuah luruih jalan basimpang
sasimpang jalan kakida
sasimpang jalan ka suok.
Luruih bana barubah tidak.
Ingek jo Allah pagi jo patang

Kok lai untuang ka mujua   
Iman nan yakin jo agamo
Gantiang putuih biang tabuak
Takadie Allah manantukan

Kok sacakuek pisau di lihie
bia balilik  jalan manggamo
kanalah yatim si anak dagang .
Angok salacuik ka pulang juo ..

Namun, dari sini pulalah awal sebuah perkenalan, awal untuk berkenal an dengan aras kesadaran tradisi yang hidup dalam kosmos Budaya Alam Mi nangkabau, dalam Adat Alam Minangkabau yang sah, untuk dipahami dan dihayati melalui pisau analisa pemikiran kritis, taktis dan strategis dalam ilmu pengetahuan tradisi Alam Minangkabau  secara sempurna karena  :

Tak kenal maka tak tahu
tak tahu maka tak sayang
tak sayang maka tak cinta
tak cinta maka tak mewarisi
tak mewarisi maka tak memiliki
           
Karena itu kenalilah, ketahuilah, sayangilah, cintailah, warisilah dan milikilah pemikiran-pemikiran adat budaya nenek moyang sendiri yang telah menebarkan nilai-nilai kearifan,  nilai-nilai kependekaran, nilai-nilai kepia waian diri, nilai-nilai kebijakan dari mereka yang terbilang pandai dan alim ilmu di negeri ini, bukan hanya dalam wacana, atau kreasi pemikiran tentang benda-benda budaya saja, tapi dalam kesadaran diri sendiri, dalam kesadaran ruh dan jiwa kita, dalam semangat komunitas kebersamaan kita, dalam gerak dan getar nafas ketaqwaan kita kepada Allah Swt.  Seperti telah diisyaratkan nenek moyang pendiri kebudayaan ini dalam sebuah kulindan nya :

Kumalo Sati

“Cimpago mulie taraju ameh
pagi-pagi barono kuniang
tangah hari tapandang hijau
patang-patang rono lembayuang
merahnyo tampak dari jauah
rono mangilau ameh mutu

jikok dilipek saleba kuku
jikok dikambang saleba alam
tapi bakarang kumalo sati

bapiuah bapilin tigo
buatan tukang nan bangsawan
dititiek Tukang Nan Bamiang Tareh Jilatang
Asa nan dari Niniek Moyang, iyolah Adam Nabi Allah,
turun tamurun kapado Sulthan Iskandar Dzulkarnain.
Taffakur alam kasadonyo dilelo Adaik jo Pusako,    
 caro nan dari niniek mamak, Buek dek Alam Minangkabau”, ….

(dimana sekarang ?, dimaa inyo kini ?)

Manusia yang pada kenyataannya memiliki Dua Aras Kesadaran pula, yaitu : Aras Kesadaran Lahir  (yang mengacu kepada pembentukan watak dan kesehatan fisik Jasmani, pelaksanaan syariat dan peningkatan intelek tual) dan Aras Kesadaran Bathin (mengacu pada pembinaan dan pengem bangan aras Kesadaran Ruhani,peningkatan  iman dan taqwa).  
Jadi, apa yang disebut sebagai Aras Kesadaran, adalah sebuah wilayah, pelataran, sebuah medan kesadaran, yang diarifi juga sebagai sebuah Forum Kesadaran Budaya, Kesadaran Adat.  Bukan Adat sembarang Adat, tetapi Adat Alam Minangkabau yang telah diikrarkan bersama, yakni :

Adat Basandi Syarak,
Syarak basandi Kitabullah
Syarak Mangato, Adat Mamakai
Alam takambang jadikan Guru ..

Akar kata kesadaran adalah Sadar. Pengertian Sadar itu tampak seba gai dua belahan, yakni Sadar Lahir dan Sadar Bathin, namun sebenarnya Sadar utuh Lahir Bathin. Seperti kita ucapkan selalu “ Maaf Lahir dan Bathin.”  Maaf” yang diucapkan penuh sadar untuk tidak berbuat kesalah an lagi,  bukan ucapan asal jadi. Sehingga dengan “satu satunya pangana sadar, sesadar-sadarnya” sebagai amanah, maka kerukunan sebuah komuni tas, cermin keutuhan sebuah wilayah dalam negara yang berbangsa dan ber tanah air ini akan dapat tercapai.  Insya-allah – Wabillahittaufiq wal hidayah.


Sekian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar