MANGURASAI ADAT SEBAGAI SEBUAH METODE
Mangurasai
adat, artinya mangureh, menguras, menampi dan mengi sai adat
:
maindang manampi
tareh,
batintiang dadak di
niru,
dipilieh atah
ciek-ciek
abih gabuak tingga
bareh
Meneliti, mempelajari adat, menganalisa secara mendalam,
secara rasik (sempurna) untuk memahami hakikat adat sehingga dapat
diambil hik mah dan kebenarannya berdasarkan
ajaran Nan Bana. Duduak dan mandu duakkan sasuatu dalam limbagonya
masing-masing. Artinya menempatkan nya sesuai dengan proporsinya masing-masing
dalam wadahnya.
Kosakata mangurasai berasal
dari kato kureh, kuras. Mangureh, arti nya menguras.
Apa yang dikuras? Mengurasai adat artinya meneliti, menganalisa, memilah-milah,
memahami dan menjelaskan “isi aturan adat”,
bukan “memamah biak kulitnya”, bahkan jauh dari pada itu sebenar nya harus
bagi yang berakal untuk mengurasai esensi, atau hakikat adat itu.
Tetapi
kosakata itu telah jauh bergeser maknanya, dan
hanya kita dengar pada kalimat “mangurehi anak bini” (berusaha
keras menghidupi anak istri),atau
seperti ucapan : “mangureh sajo karajo waang mah.” (artinya: menghabiskan
saja kerjamu). Kalimat-kalimat
ini seperti yang kita dengar dalam bahasa “lapau”, bahasa “balai” bernada
“kareh”, (keras) dan sarkas). Atau
ungkapan yang mengatakan “mancari bareh” (mencari rezeki), “induak bareh”
(istri, bini, atau urang rumah) , “nan paralu tagak gantang” (yang perlu stok
beras) dan lain-lain hanya ditafsirkan menjadi kiasan dangkal tersurat saja,
tidak lagi ditafsirkan menurut pesan makna asalnya, makna tersirat.
Pada hal
bagi orang Minangkabau, bahasa simbol itu diambil dari alam kehidupan
kehariannya. Sehingga apabila seseorang mengatakan “mancari bareh” secara kias,
maka artinya akan jadi berlapis-lapis, sesuai konteksnya. Boleh jadi
dimaksudkan sebagai mencari atau membeli beras secara lahirnya, tetapi juga
bisa ditangkap maknanya sebagai mencari reze ki untuk hidup.
Tetapi dalam konteks tulisan ini, yang
dimaksud “mencari bareh” ada lah mencari
sesuatu yang bernas, mencari butir-butir nilai ilmu, mencari esensi yang
sebenarnya, untuk dimengerti . dipahami, dan dihayati, sehing ga tujuan akhir
yang didapatkan adalah “paham”. Kalau sudah “paham” maka tidak ada lagi
pertanyaan, tidak lagi helah, atau mencari-cari alasan. Sebagai ilmu, berarti telah sampai pada
puncaknya, pada batasnya. Di luar itu tidak terjangkau lagi oleh akal.
Dengan
demikian, cara mangureh yang dimaksud adalah seperti kata pepatah : mangaruak
sahabih gauang, mahawai sahabih raso. Artinya menggali sedalam-dalamnya,
memahami dan menghayati sehabis-habis akal rasa dan pikiran yang mampu dicapai
dalam tujuan menuntut “ilmu (adat) keminangkabauan” mempelajari dan
mendalami nilai-nilainya, bukan untuk sekedar orasi, atau bumbu pidato adat
saja. Jadi kata-kata adat Minangkabau, tidak hanya disalin dan dibaca
permukaannya saja, apa yang tertulis/tersurat saja, tetapi harus dibaca,
dipahami, dihayati, dan dilakukan dengan
perbuatan amal prestasi yang nyata (diaplikasikan secara positif, bukan arti
plesetan) dalam tataran makna tersurat, tersirat dan tersuruk.
dikubak kulik tampak isi (batang)
dikubak isi tampak tareh (nan talamun)
dikubak tareh tampak essensi (hakikat)
dikubak hakikat .. baru tau jo makrifat
Oleh
karena itu “Mengurasai” sebagai sebuah metode penelitian dan kajian adat ternyata
bersifat menyeluruh dan total menuju kedalaman makna hakikatnya, memiliki nilai
plus dan khas. Karena kerja mengurasai
itu adalah :
Mangurasai
adat
maindang
manampi tareh
manggisai
jo mangayak
batintiang
dadak diniru
barambuih
jo miang sakam
dipilieh
atah ciek-ciek
abih
gabuak tingga bareh
dicupaki
sado nan adoh
diambiek
satanak ka dimakan
hasienyo,
makan
sasuok kanyang samusim.
“Mangurasai
adat” inilah yang dimaksud adat dengan sifat “biaso” (biasa dan kebiasaan,
sudah menjadi sifat dan fi’ilnya), yakni bernilai la zim, atau kelaziman
adat dalam menerima, menurun wariskan, mendidik, mensosialisasikan dan
mengaplikasikan nilai-nilainya sebagai amal ibadah dalam kehidupan. Seperti
juga seorang guru atau pendidik yang membim bing anak asuh atau anak didiknya,
yang sudah menjadi kelazimannya.
Pada
zamannya sebuah “kemahiran adat” telah “biasa-biasa” saja bagi ahlinya, seperti
niniek mamak, alim ulama, cadiek pandai,
manti, dubalang pandeka, yang telah melazimkan ilmunya dari waktu ke
waktu, dari musim ke musim dari kurun ke
kurun sebagai amal prestasi yang makruf dalam praktek kehidupan. Maka adatpun
dipahami sebagai “sesuatu yang menjadi kebiasaan orang-orang dahulu saja”, pada
hal konotasi pe ngertian “kebiasaan” yang dimaksud sekarang, dengan yang
dimaksud “orang dahulu” jelas “beda”. Seperti disindirkan dalam petuah adat
:
urang
daulu nan mandapek,
urang
kini kahilangan.
Seumpama
seorang dokter yang berpraktek, dimana mekanisme pe ngobatan di mulai dari mendiagnosa
penyakit sampai kepada pelaksanaan pengobatan yang dilakukannya sudah merupakan
system yang dilazimkan ilmunya sehari-hari, walaupun banyak pasien mengeluh
karena tidak pa ham dengan system praktek kedokteran itu.
Demikian
juga dalam Adat. Pada hal sangat diperlukan keseriusan dalam memahami nilai-nilai adat itu, yang telah terbagi
dalam empat klasifikasinya, yakni :
·
Adat Yang Sebenar Adat,
·
Adat Yang Diadatkan,
·
Adat yang Teradat, dan
·
Adat Istiadat.
“Adat
Istiadat” (point akhir) merupakan kekayaan budaya umum pada permukaan yang
bercampur baur antara yang boleh dengan yang tidak boleh. Menurut ulama, dinamakan
adaik nan saratuih, bacampua halal
dengan haram. Pada hal kalau Adat
Minangkabau (Adat Nan Ampek) kita buka kita dalami, maka kita akan bertemu
dengan isinya yang disebut Cupak Gantang dalam
Adat !.